Tuesday, 9 July 2013

Trade with Remarkable Indonesia (2)

Teks dan Foto: Rahmayanti Helmi Yanuariadi 

Rahmayanti HY
Thomas Sigar
  

        Beberapa tahun ini Trade with Remarkable Indonesia  tampil dalam kesempatan Japan Fashion Week di Tokyo Big Sight, Juli tahun 2012, dan di bulan yang sama  tahun ini pun Indonesia direncanakan ambil bagian. Tentu saja yang dituju bagaimana produk fashion Indonesia bisa diterima pasar Jepang. Beberapa kenalan fashion designer yang dijumpai, ada yang baru menjajaki pasar Jepang, namun ada juga yang sudah memperoleh pembeli.



Dari berbagai kesempatan melihat dari dekat eksibisi fashion Indonesia di Tokyo, diamati dari kemauan pasar Jepang, maka produsen dari Indonesia perlu berkali-kali datang untuk kenal lebih dekat seperti apa produk fashion yang diminati para pecinta fashion di Jepang.



Design by Thomas Sigar
               Seperti yang ditengarai perancang busana Thomas Sigar, yang Juli 2012 lalu menjadi kurator bagi delegasi Indonesia di event JFW 2012 di Tokyo Big Sight itu, bahwa untuk datang berpartisipasi ke suatu eksibisi hendaknya produk yang dibawa disesuaikan dengan event-nya. Peluang di suatu event itu harus benar-benar dilihat. “Jika tidak mengenal event nya seperti apa, produk yang dibawa bisa engga pas. Produk yang dibawa harus pas benar dengan eventnya, misalnya apakah event itu untuk retail kah, untuk pasar yang suka kain antik kah, atau untuk pakaian kasual, houte couture, dan sebagainya”.

Sering sekali mendengar “Kenapa ya, kok kita tidak bisa seperti negara-negara lain, atau desainer luar lainnya”.

Thomas Sigar: Semua orang suka brand Zara, Mango, atau H&M (yang harganya terjangkau). Bisa ga sih Indonesia membuat seperti itu? Sejak tahun 1995 saya sudah bekerja di dunia fashion, kepikiran bikin (semacam) Zara dengan sentuhan Indonesia untuk dunia,dengan sentuhan international.
          Lihatlah perancang busana Dries van Nouten atau Marni  mengeluarkan batik (print batik). Atau Diane von Furstenberg, perancang busana seorang Belgia kelahiran Amerika yang terkenal dengan ikon ‘wrap dress’ nya. Setelah jalan-jalan ke Bali Diane mengeluarkan batik print bergaya Bali untuk perlengkapan bedding. “Ini yang membuat kita berpikir, kenapa kita tidak membuat seperti itu?” Atau “Ayo, buatlah produk yang bisa bersaing.” Dari dulu hingga sekarang, Indonesia tetap mencari pasar di dunia. 
            Memang kelebihan Indonesia ada pada craftsmanship yang membuat tenun atau batik dengan teknik tinggi menggunakan keterampilan tangan. Ini yang membuat harganya sangat bernilai. Thomas berusaha membuat penampilan busana menjadi lebih ringan, misalnya mengkombinasikan anting-anting tulang yang funky dengan busana tenun ikat Sumbawa-Nusa Tenggara Barat, tenun ikat Nusa Tenggara Timur.
Sesungguhnya banyak kesempatan untuk membuat karya tenun ikat modern dengan inspirasi nusantara.
Motif tenun ikat itu tidak hanya milik Indonesia saja. Tapi Latin, Jepang,AfrikaMyanmarThailand, dan lainnya juga punya; tinggal teknik pembuatannya yang berbeda –tradisional/ATBM (alat tenun bukan mesin) atau moderen/ATM (alat tenun mesin).
Yang jelas, yang sudah dan masih ingin dituju adalah: “Produk kita dikenakan siapapun kapan pun,” kata Thomas.##


Saturday, 6 July 2013

The Beauty of Gemstones


 

‘Salero Kito’ di Melbourne

   

Selama-lamanya tinggal di negeri orang, seberagam dan selezat apapun kuliner yang pernah dirasa, tetap saja kembali ke menu masakan rumah,  masakan     ‘kampung halaman’.



Teks & Foto: Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Melbourne).

                  “Ini baru makanan Padang asli!”  spontan ucapan ini terlontar saat sendok pertama racikan menu makanan Padang ini menyentuh lidah. “Salero Kito”! benar-benar selera kita!  Dengan gaya saji ala fast food restaurant, menu masakan Padang tertata di hot food display: rendang daging, gulai kepala ikan, gulai sayur nangka muda, gulai ayam, gulai tunjang (kikil), gulai otak sapi, gulai kambing, sambal hijau, dendeng balado, telur balado, paru goreng, sate Padang, ayam pop, ayam goreng, udang pedas, dan lain-lain. Hm..persis sama, tidak rugi masuk resto ini tadi. Ini bukan rumah makan Padang di Jakarta, atau di tanah Sumatera Barat sana yang sudah lumrah kalau lezat. Tapi ini adalah Resto Padang “Salero Kito” di Melbourne. Satu porsi seharga rata-rata terjangkau Aud 9.50 sudah cukup menenangkan perut.
                  Sulit menemukan cita rasa asli masakan Indonesia seperti ini di luar negeri, apalagi jenis masakan yang pengolahannya rumit seperti masakan Padang. Sepengamatan saya, masakan Padang sangat jarang tersaji di restoran Indonesia. Berbeda dengan kuliner Cina yang menyebar ke seluruh dunia sejak jaman baheula. Bisa jadi karena masakan Padang dominan dengan rasa pedas, terkesan berat karena sarat bumbu, sehingga kurang diminati orang-orang bangsa lain. Tapi semua ini justru menjadi tantangan bagi Ezra Toddy, sang chef sekaligus pemilik Salero Kito, yang hampir sepuluh tahun ini menetap di Melbourne.
                  Tepat sekali kalau restoPadang ini didirikan di Melbourne-Australia yang notabene menonjol dengan penduduk multikulturalnya. Warganya sudah terbiasa dengan makanan berbagai bangsa, terutama kuliner Asia. Apalagi warga Indonesia pun sangat banyak. Selama-lamanya orang Indonesia yang hidup di luar negeri, dan seberagam dan selezat apapun kuliner yang tersedia dan pernah dicicipi di negeri orang, tetap saja kembali ke menu masakan rumah, masakan ibu, masakan ‘kampung halaman’.  Menu Padang otentik dalam suasana Indonesia sungguh mengobati kerinduan akan rasa makanan tanah air yang sesungguhnya. “Engga ada yang bisa menandingi kelezatan makanan negeri sendiri,” begitu menurut pengalaman indera perasa saya.
                  Tidak berapa lama sejak berdirinya Agustus tahun 2010,  resto yang berada di daerah suburb di sebelah tenggara kota Melbourne segera dikenal di seantero kota. Lokasinya di  21-23 Waverley Rd, Malvern East, VIC 3145 (Melway 68 F1)
mudah dicapai dengan kereta api atau tram. Dengan train, dari City pilih jurusan Pakenham/Frankston/Dandenong; turun di halte Caulfield, dan resto ada di depan Monash University-Caulfiled. Atau dengan tram no 3 arah Malvern East dari City (istilah yang lazim untuk menyebut pusat kota), turun di halte di dekat kampus Monash –universitas yang banyak mahasiswa Indonesianya.
                  Berlabel sertifikat ‘halal’, inipun satu kelebihannya; Salero Kito menjawab pencarian saya akan makanan halal yang biasanya sulit ditemui di negeri non muslim. Semua bahan baku daging disediakan pemasok Halal Meat di propinsiVictoria- Australia.  
                  Rumah makan ini cepat memikat pelanggan dengan promosi melalui media sosial Facebook, link dengan beberapa website kuliner,  Indonsesian free magazine di Australia, dan flyer.  Tak heran pelanggannya tersebar di kalangan warga Indonesia pada umumnya, lingkungan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne, Young Indonesian Muslim Students’ Association, para professional, warga Malaysia di Melbourne (termasuk pejabat Malaysia yang sedang bertugas), turis Indonesia,  hingga para artis dan para pejabat  dari tanah air. Pelanggan orang Australia sendiri, orang Cina dan orang Asia lainnya pun mulai sering terlihat mampir di sini. Salero Kito juga melayani pesanan antar dan catering untuk mahasiswa dan keluarga.
                  Di bulan puasa Ramadhan tahun 2011, Salero Kito menyajikan cuma-cuma cendol gratis untuk berbuka puasa dari 17.30-18.30 (2011) --semoga juga tahun 2013 ini ada cendol gratis... Ezra dan Fara, tunggu kedatanganku...
Ezra Toddy

MEMULAI BISNIS KULINER
                  Belum sempat pulang untuk menikmati masakan asli Padang di tanah air, maka saat merasakan lezatnya masakan ini di negeri orang,  jadi tergelitik pingin ngobrol-ngobrol dengan pemiliknya, anak muda keturunan Padang-Sunda, 34 tahun. Semoga bisa menginspirasi...
                  Sebelum berbisnis sendiri, sarjana akuntansi yang melanjutkan studi master di bidang electronic-commerce di Deakin University-Melbourne ini bekerja di kota ini di lembaga pemerintah bidang asuransi kesehatan, perbankan, dana pensiun, dan investment banking. Merasa memiliki tabungan, dan setelah kelahiran puteri pertama (2009) pasangan suami-istri Ezra Toddy dan Faradina Wardani, ini justru yang mendorong mewujudkan  mimpi memiliki bisnis sendiri di Australia. “Saya memang bermimpi punya bisnis sendiri di negara ini, apalagi setelah anak lahir kami berpikir untuk masa depan anak,” kata Ezra yang telah berstatus PR (Permanent Resident) di Melbourne. Ia yakin bisnis makanan ini memiliki peluang untuk dikembangkan di kota-kota besar lain di Australia, seperti di Sydney dan Brisbane, mengingat banyaknya warga Indonesia di sana.
                  Ia yang suka makan dan gemar memasak langsung saja memilih bergerak di bidang restoran.  “Di Melbourne kan belum ada resto Padang yang otentik, ” ujarnya. Di Melbourne, target pasarnya  sangat signifikan. Orang Indonesia yang memiliki ijin Permanent Residence (PR) ada sekira 36.000 orang, turis 30.000 setiap tahunnya. Belum lagi para pelajar Indonesia.
                  Januari 2010 ijin mendirikan restoran dilayangkan, dan baru Juni 2010 ijin diperoleh. “Untuk orang sini, proses ini termasuk lama,” kata Ezra yang semula berpartner dengan orang lain, namun di kemudian hari memantapkan usahanya dengan bertanggung-jawab sendiri dengan didukung keluarga.  Ijin usaha diperoleh, antara lain   berupa food safety supervision (pengawasan makanan) untuk mendapatkan food permit (ijin usaha makanan).
                  Ezra mempersiapkan resto dengan konsep warung --makanan diolah dan disajikan di hot food display.  Ia berguru dengan koki ahli masakan Sumatera Barat ini di Jakarta. Dan sang chef  guru ini pun langsung didatangkan ke Melbourne mendidik beberapa koki yang direkrut Salero Kito. Dalam menjalankan bisnis ini, Ezra (chef) dibantu seorang chef assistant,  kitchen assistant, dan beberapa  karyawan lagi. Aneka bumbu utama dipasok dari Indonesia.
                  Akhirnya, 21 Agustus 2010, resto berdiri. Dengan mengambil alih ijin restoran Yunani di lokasi itu, peruntukan diubah menjadi rumah makan Padang. Tampak depan resto bercat putih berkusen merah, interior yang simple minimalis, dilengkapi plang nama resto bergambar rumah Gadang yang tipikal Padang, membuatnya sangat mudah dikenali.
                  Tidak mencari keuntungan saja, resto ini juga bekerjasama sosial dengan para mahasiswa Indonesia yang tinggal di sekitar. Dalam satu hari menjelang jam tutup resto, makanan yang tidak tahan lama dihabiskan dengan cara diberikan cuma-cuma kepada mereka, sehingga tidak ada yang mubazir. 
                  Untuk turis Indonesia yang jalan-jalan ke Melbourne, dan ingin mencicipi otentiknya Salero Kito, sila hubungi telepon  +61 3 95723816. Email: salerokito@gmail.com.  Web: www.salerokito.com.au. ♦
From: Album: Melbourne 2011.

HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...