Tuesday, 10 September 2013

SERIBU SATU IDE DARI ALAM

Bangle, creation from the nature.

       Setiap desain perhiasan karya Runi Palar berisi cerita alam di dalamnya. Keuletan dan kesahajaannya membuat usaha perhiasannya tetap eksis.


Text dan Foto: Rahmayanti Yanuariadi (Tokyo dan Bali).

         Cerita tentang kesuksesan Runa Jewelry sudah sering dilontarkan. Kali ini ingin tahu, apa dan bagaimana di balik bentuk perhiasannya yang indah, unik dan lain daripada yang lain. Rupanya bagi Runi Palar, lingkungan alam adalah sesuatu kemewahan yang menjadi inspirasi bernilai kala disematkan pada sebuah desain perhiasan perak dan emas. Air, sawah, kayu,   daun yang jatuh, ranting berserak, pagar, batu, laut, kerang, rumput, dan semak-belukar adalah obyek alam yang menginspirasi bentuk-bentuk perhiasannya yang mewah.
           Semangat berkarya ia peroleh dari alam sekitarnya, hingga tak pernah lelah mengabdikan jiwanya pada karya-karyanya. Sama dengan fansnya di Jepang yang tak pernah bosan menanti karya-karya high class nya setiap kali ia datang.
        Dari berbagai kesempatan saya melihat banyak karya perhiasan di mancanegara, dari gaya klasik, aristokrat, modern, kontemporer, futuristic,  hingga art yang bernuansa Bali dan Jawa,  karya desain Runi sangat terasa berbeda. Sophisticated elegant,  dan  eclectic!
                                      ***
Runi with the fans  in Modern Bali Fair in Isetan-Sagamihara, 2010
           Mengenal Runi Palar dari dekat, justru ketika kami jumpa beberapa kali dalam beberapa tahun ini di Tokyo dan beberapa kota di Jepang. Dan yang paling hangat sekali berjumpa dengan ibu yang super energik ini di departement store berkelas Isetan di Urawa, dan departement store Takashimaya di Tachikawa, keduanya berada di dekat kota metropolitan Tokyo. Sudah sembilan tahun karya perhiasannya mendapat tempat di hati orang-orang Jepang; tak heran jika dua tahun belakangan ini Isetan mengajaknya menggelar Modern Bali Fair yang membawa banyak perajin Indonesia ke berbagai kota seperti di Sagamihara dan Urawa tahun lalu, dan tahun ini di Urawa dan Tachikawa. “Saya membawa bendera Indonesia. Dan mereka mengapresiasi saya sebagai orang Indonesia.”
Beberapa departement store kelas atas lainnya akrab dengannya, sebut saja Mitsukoshi di Nihonbashi, Ebisu, Tokyo, Isetan di Kyoto,Sagamihara, Urawa, Shinjuku, Matsudo Chiba, Tachikawa, Fujisaki Sendai, dan Daimaru. Namanya juga dikenal di kapal cruise  Asuka II yang penumpangnya adalah kalangan turis kaya Jepang. Februari 2010 ia diundang untuk menggelar eksibisi di kapal cruise  dengan rute Singapura ke Darwin, Australia.  “Di kapal Asuka II saya dipanggil Runi sensei,” cerita Runi, karena mereka tahu dirinya seorang jewelry designer. Ia menggelar perhiasannya dengan brand high class “Runa”, dan juga koleksi batik eksklusifnya. Pendeknya, setiap tahun kedatangan Runi ditunggu di Jepang.
 Nah, liburan saya ke Bali kali ini sengaja ingin melihat dari dekat keseharian Runi mengelola bisnisnya.
Main house in  traditional Balinese and modern style.
        Tidak ada shocking looking  ketika melihat kediaman Runi Palar di Ubud, Bali. Terlihat dari kejauhan warna natural yang sama dengan sekelilingnya. Memasuki gang kecil di Lodtunduh, ke arah Runa House of Design & Museum.  Segera disambut oleh pepohonan bamboo, pohon kamboja (plumeria) yang langsing semampai berdaun jarang yang usianya sudah tua. Lumbung padi, padepokan di teras rumah melengkapi nuansa rumah di desa. Menapaki tangga yang ditaburi kuntum-kuntum kamboja di anak tangganya, menuju pintu utama berukuran besar berukir khas Bali berwarna emas yg didesain khusus untuk rumah ini. Tangan Adriaan Palar sendiri, sang suami, yang mendesain ukiran pintu, langit-langit rumah di bangunan utama. Ada beberapa bel sapi yang besar yang diperoleh pada tahun 1970 an tergantung di teras belakang menghadap ke sehampar luas sawah milik masyarkat desa. Ini membawa saya merasakan hawa hangat dan sepoi angin yang berembus dari arah hamparan sawah.
Runi Palar and paddy filed surroundings.

         Pantaslah alam di sekeliling sangat memberikan inspirasi bentukan-bentukan perhiasan yang dibuat Runi. Kecintaannya pada bumi diwujudkan dengan selalu menyapa bumi dengan menuang segelas air ke tanah, membasahi bumi setiap pagi, sebagai tanda berterimakasih atas bumi ciptaan Tuhan tempatnya berpijak dan berkarya. 
                                              ***


Batu-batu permata dalam desain


Jewelry with the idea of Plumeria Flower.


Gold jewelry --roots shaped with Opal.


Got the inspiration from the nature.
         Pagi itu, alunan musik jazz instrument lamat-lamat terdengar dari ruang tengah rumah bernuansa tradisional modern. Runi yang mengenakan kain Bali dengan atasan berpotongan ringan duduk di teras belakang menghadap sawah. Di meja kayu solid berserak aneka batuan yang akan di mix-match sesuai desain yang sedang di-sktesa di atas kertas putih.  Tangannya bebas mencoret desain berbentuk benda-benda yang ditemukan di halamannya. Anda tahu bentukan-bentukan material alam tak ada yang sama, bukan? Ini yang membuat rancangannya seribu satu ide. “Environment itu kemewahan, dan saya menikmati sebagai bagian dalam kerjaan,” kata Runi.
            Di usia ke 65 (2011) semangatnya tetap membara menjalani bisnis perhiasan. “Saya diberi kebebasan ruang untuk mendesain oleh suami.”  Suasana kerja yang nyaman sangat mendukung memancing mood membuat rancangan bros, giwang, anting, gelang, kalung, dan cincin.  Sejak awal mereka memilih lokasi Bali.
         Tanah ladang kosong seluas 2700 m2 yang diperoleh tahun 1999 selesai dibangun menjadi rumah bergaya Bali modern tahun 2001. Terdiri dari bangunan utama, guest room, kolam renang, dan museum. Inilah ruang kerja Runi. Ia tinggal pilih mau duduk di mana saja –di teras belakang menghadap sawah, di gazebo di halaman yang berbatasan dengan sawah, atau ruangan di dalam rumahnya; ide-ide brilliant desain bermunculan.
          Desain garapan Runi terasa luwes,  menurut Prof. Dr. Sudjoko Danoesoebrata, dosen ITB seni rupa, seperti Runi menari –pekerjaan yang digeluti Runi bertahun sebelum menekuni bidang perhiasan ini.

Collection of antique sketches  in Runa Museum.
          Rumah tinggal, lingkungan sekitar, desain, hasil produk, dan pemasarannya  menjadi satu kesatuan. Suami Runi,  Adriaan Palaar sengaja punya ide melengkapi rumah ini dengan galeri perhiasan, tepatnya ia menyebutnya dengan museum perhiasan Runa Jewelry. Di museum yang berdiri pada 29 Desember 2001 tepat pada ulangtahun usaha Runa Jewelry ke 25, disimpan dan dipamerkan koleksi perhiasan, sekaligus juga sebagai showroom. “Selama 25 tahun Runi berkutat di perhiasan, maka pantas jika karya-karyanya diabadikan dalam sebuah museum,” kata Adriaan, pelukis yang menggemari musik jazz dan klasik. 
           Keberadaan guest house yang kendati tidak khusus dikomersialkan, menjadi fasilitas yang berkaitan dengan pemasaran. Jika ada tamu menginap, suguhan pemandangan sawah, suasana rumah sudah menjadi suatu obyek menarik, ditambah lagi bisa melihat-lihat koleksi perhiasan Runi Palar di museum ini.
           Runi menggeluti pekerjaan dengan hati, cinta, dan niat terus menciptakan lapangan pekerjaan. Tenaga kerja yang tersebar di Bali, Jogja, Bandung mendukung dengan kerja penuh dedikasi menghasilkan karya-karya ultima.
Runi and the museum.



           Bengkel para silvercraftsman tak jauh dari sini. Ibu gesit ini selalu berpesan kepada para karyawannya agar tidak cepat tumbang. “Kita saling membutuhkan. Kalau ada desain baru, pantang mengatakan itu susah dikerjakan. Untuk bisa mengerjakan, maka mata, hati, pikiran, dan tangan harus menyatu. Kalau tidak, barang itu tidak ada jiwanya.”  Jika ada pesanan banyak sekali, Runi mengerahkan grup tenaga yang cepat  kerja di Bali dan di Yogyakarta. Quality control sangat penting, agar tidak rejected. Jadi, kerja keras.  Seperti saat memenuhi stok barang penjualan di tv shop channel di Tokyo (2007), harus menyelesaikan 2000 pieces buatan handmade dalam waktu tujuh minggu. Karena nama Runa Jewelry sudah dikenal di Jepang, proses deal dengan televisi itu tidak memakan waktu lama, termasuk pihak Jepang melihat langsung prosesnya ke Bali.  
           
Dari Runi untuk sahabat
          Setiap hari dari rumahnya di Ubud, Runi menggerakkan brand “Runi Palar” dan menghubungi dunia. Dunia pun datang ke sana. Tak jarang berbagai tamu mancanegara menikmati semalam dua malam menginap di guest house yang berada di halaman di seberang rumah utama. Makanan rumah yang lezat, benar-benar khas Indonesia (masakan Bali, dan masakan Jawa senantiasa menghiasi meja makannya di kala  pagi, siang, atau malam). Pokoknya komplit! Suasana Bali, kuliner rumah, dan perhiasan ultima!
A customer in Runi's gallery in Ubud.

          Dulu ketika baru menikah dengan Adriaan Palar 1967, ia terbiasa menjamu para tamu yang bertandang ke rumahnya di Bandung, hingga 1978 sebelum pindah ke Bali.  Masa itu Runi berkecimpung di dunia fashion. Ia memiliki butik busana yang menyediakan dress maker, florist, dan perhiasan. Kliennya sekira 500 keluarga orang asing yang kala itu banyak berada di Bandung –mereka yang berkaitan dengan perusahaan industri pesawat terbang Nurtanio, General Electric, Goethe (Jerman), komunitas tekstil, sekolah Jepang, orang-orang Perancis. “Semua senang. Sebab, di rumah ada butik sekalian dengan penjahit bajunya,  galeri perhiasan, florist,  bisa ngopi-ngopi, bisa ngintip tempat kerja (workshop),” cerita Runi yang akhirnya memilih lebih menekuni perhiasan di kemudian harinya.
          Ia mampu bergerak di lingkup internasional  meski bekerja sendiri. “Di Jepang, meski saya seorang diri membawa bendera Indonesia, saya jalani.”
          Runi menjalankan bisnis seperti menyenangi hobinya. Dengan talenta seni yang piawai, Runi memikat penggemar perhiasannya. secara personal. “Mereka membeli perhiasan saya tidak hanya perhiasan saja, tapi mereka juga mendapatkan konsultasi dalam penampilan secara keseluruhan; bagaimana pantasnya bros atau kalung bagus disematkan dan dikenakan bersama scarf, topi, atau busana,” jelas Runi yang selalu berdandan fashionably. Tak heran jika pendekatan personal ini disenangi perempuan-perempuan Jepang. Apa yang dikenakan Runi selalu menjadi contoh, ia seperti manekin yang bergerak.
          Customer Jepang mengenali desain Runa yang bernuansa nature. “Saya senang menggelar eksibisi di Jepang, karena mereka membeli dengan bertanya ini apa itu apa. Pembeli tertua berusia 97 tahun –menantunya adalah teman karib saya.  Bagaimana saya engga dress-up, ibu 97 tahun ini saja masih suka kalung dan earing besar.”  Dari situ Runi lebih lagi mendapat proses belajar. “Sangat menginspirasi, pokoknya unik,” kata penggemar parfum Diorissimo dan Miss Dior ini. Runi menggabungkan pemasaran, networking, dan  persahabatan. Ia mudah akrab dengan siapa saja.
            Melihat ke belakang ke perjalanan hidupnya, kemampuan Runi ini diturunkan dari sang ayah. Anak pasangan Raden Soepasdi Tjokrosoeroso dan R. Nganten Soemiati Soenandar ini belajar di sekolah kejuruan Sekolah Teknologi Menengah Atas (STMA) di Yogjakarta, yang sekarang bernama  Sekolah Menengah Teknologi Indonesia SMTI, kemudian melanjutkan ke Akademi Tekstil Bandung (sekarang Institut Teknologi Tekstil-ITT) selama 2 tahun, dan kemudian menikah. Pendidikan itu yang mendasari pemahaman teknis apa yang ia geluti sekarang.
          “Buatlah apa yang bisa dikerjakan,” begitu Runi menirukan kalimat suaminya. Kendati sang ayah yang seorang perajin perak sejati yang membawa nama bangsa ke dunia tak pernah meminta Runi untuk meneruskan usaha peraknya, namun Runi seperti sudah tahu bahwa pada kerajinan perhiasan inilah dia bisa berkarya. Ayahnya, Raden Soepasdi Tjokrosoeroso, adalah master craft man pemilik brand silver ware TS, orang pertama Indonesia yang berpameran seni di luar negeri 1938-1939. Saat itu sang ayah mengikuti pameran seni kerajinan perak Indonesia khusus Yogjakarta, ke San Fransico selama 14 bulan, naik kapal 40 hari. “Ini tidak pernah disebut-sebut karena masih di jaman penjajahan Belanda sebelum merdeka. Saya kaget ketika melihat karya TS ada di Troppen museum, Belanda.”
          Ketika ayahnya tahu Runi ternyata juga terjun di perak, ia hanya berkata “Oo, senang juga tho di perhiasan. Wah apik kuwi, Runi ne.. (Wah itu, bagus), syukur-syukur….,” Runi mengingat kalimat ayahnya. Padahal sang ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya. Runi anak keempat dari delapan saudara.
          Dari seorang guru yang memiliki workshop, Runi berkesempatan praktek kerja di London 10 hari (1982). Belajar tentang perhiasan juga sampai ke Skotlandia, kunjungan ke perusahaan di Italia. Menjadi tamu di perusahaan dengan 1300 pekerja Uno AErre Italia, hingga ke perusahaan yang cuma memiliki tiga orang karyawan. Ia juga ke Jepang belajar teknik zogan. “Mereka tahu tentang Runa Jewelry,”  jelas Runi tentang perusahaan yang ia kunjungi.

         Selain di museum shop di Ubud, Sogo Nusa Dua, dan Grand Hyatt Bali, galeri Runa Jewelry juga ada di Grand Indonesia Jakarta.●
  
Smoky Quarts on the image of sand surface.

*Senang bisa mengikuti dan melihat keseharian Runi Palar dan suaminya, Adriaan Palar, beberapa hari di bulan Juli 2010, di Lodtunduh, Ubud, Bali.

No comments:

Post a Comment

HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...