Ketika Jepang menyapa dunia melalui Kimono
©Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Tokyo).
Jepang memiliki perhatian sangat tinggi dalam memelihara kebudayaan tradisionalnya di tengah perkembangan teknologi moderen yang melesat pesat.Termasuk memperkenalkan budayanya kepada dunia, antara lain pakaian nasional (minzoku isho) “Kimono”. Menjelang tahun Olympiade 2020, di mana Tokyo menjadi candidate city penyelenggaraan pesta olahraga dunia itu, Jepang bersiap-siap. Negara ini akan membuktikan kultural negerinya akan mampu menyatukan bangsa-bangsa dengan daya tarik kebudayaannya.
Saya adalah
salah seorang yang merasakan persiapan itu. Suatu hari di awal Januari 2015
saya ditawari Noriko Ikeda, seorang teman Jepang di kelas “tole painting”, apakah bersedia dipakaikan dan diperkenalkan dengan
Kimono. “Oh, dengan senang hati,” sambut saya cepat-cepat. Suami Noriko,
Yoshimasa Ikeda, yang bekerja sebagai manager di divisi Kimono di Departemen
Store kelas atas di Tokyo, secara pribadi terpanggil sukarela mendedikasikan
dirinya untuk mengenalkan Kimono kepada dunia.
Emira with Ikeda. |
Antara lain
yang ia lakukan pergi ke Vietnam khusus untuk mengenalkan Kimono ke masyarakat
Vietnam. Artinya, lima tahun sebelum tahun 2020, semua persiapan sudah mengarah
untuk memberikan pertunjukan budaya yang terbaik buat tamu-tamu dunia. Buat
bangsanya sendiri,
Pak Ikeda juga mengadakan kegiatan membantu memberikan kesempatan warga di daerah bencana untuk tetap bisa mengenakan Yukata (baju tradisional Jepang/Kimono musim panas), misalnya bagi masyarakat di daerah bencana gempa dan tsunami 2011 tempo hari. “Pada saat musim panas, kami menyediakan pakaian Yukata untuk bisa mereka kenakan ketika hanabi (pesta kembang api di musim panas). Kemungkinan besar, ketika bencana itu pakaian yukata atau kimono mereka rusak atau hilang, kami membawakan atau meminjamkan yukata untuk dikenakan pada matsuri (pesta rakyat),” papar Noriko.
Pak Ikeda juga mengadakan kegiatan membantu memberikan kesempatan warga di daerah bencana untuk tetap bisa mengenakan Yukata (baju tradisional Jepang/Kimono musim panas), misalnya bagi masyarakat di daerah bencana gempa dan tsunami 2011 tempo hari. “Pada saat musim panas, kami menyediakan pakaian Yukata untuk bisa mereka kenakan ketika hanabi (pesta kembang api di musim panas). Kemungkinan besar, ketika bencana itu pakaian yukata atau kimono mereka rusak atau hilang, kami membawakan atau meminjamkan yukata untuk dikenakan pada matsuri (pesta rakyat),” papar Noriko.
Tata cara berkimono antara lain memperlihatkan kerapian kerah di depan dada, kerah di bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri; dan kerah di bagian leher belakang pun tertata rapi. Sabuk lebar disebut obi yang dililitkan di badan dari bawah dada hingga pinggang dengan sisa kain obi dibuat bentuk tertentu di bagian punggung, diberi hiasan tali obi dengan simpul cantik, dan sanggul penghias rambut; alas kaki mengenakan sandal jepit yang disebut zori atau geta dengan berkaus-kaki putih bernama tabi.
Kami sepakati hari Sabtu, 7 Februari 2015, menjelang siang kami berangkat ke Nihonbashi, Tokyo. Tujuannya ke Coredo (coridor edo), wilayah bisnis yang terkenal di Nihonbashi –salah satu daerah bersejarah/tua kota Tokyo. Tepatnya ke Kyoraku-Tei, studio Kimono di departement sore Coredo Muromachi 3, lantai 3. ini juga menyewakan tempat untuk tea room, dan ruang acara. Sejak musim semi 2014 Kyoraku-Tei menjadi tempat “omotenashi” untuk mendapat pengalaman tentang dunia tradisional Jepang.
Pak Ikeda bekerja sama dengan Shin-Nichiya (http://www.shinnichiya.com) dalam penyelenggaraan perkenalan budaya tradisional Jepang untuk orang-orang asing,siapapun. Mereka menggunakan studio Kyoraku-Tei untuk memperkenal pakaian tradisional Kimono Jepang ini kepada orang-orang bangsa lain, termasuk ke orang Jepang sendiri.
Untuk menyewa
Kimono di Kyoraku-Tei dihargai ¥5,500
dari jam 10.30-15.30, setiap hari Kamis dan Sabtu. Setelah didandani kimono atau yukata (untuk
musim panas), kita bisa pergi sendiri berfoto-foto kemana saja suka dengan
membawa kamera sendiri, lalu jam 18.00 pakaian kimono harus dikembalikan. Semua
barang kita yang tidak perlu dibawa bisa gratis dititipkan di studio.
Saya sangat beruntung karena semua diberikan gratis. Pak Ikeda dan istrinya Noriko yang teman saya tadi memberikan kesempatan mencobakan proyek volunter nya kepada saya dan anak gadis saya, Emira Rosyada. Noriko membawa Kimono koleksinya untuk kami kenakan.
Saya memilih warna keemasan yang elegan, kebetulan pas dengan dengan warna scarf sutera hijab yang saya pakai hari itu, dan Emira mengenakan kimono berlengan panjang warna merah muda (disebut furisode) spesial untuk anak gadis yang memasuki usia 20 tahun. “Furisode yang ciri khasnya adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai ini hanya bisa dikenakan oleh anak gadis yang belum menikah,” kata Kimono dresser kami. Dua orang Kimono-dresser mendandani kami. Obi saya dibentuk seperti gunung Fuji.
di dalam studio.
Lalu kami lebih memilih berfoto dengan suasana luar, yaitu di jalan kecil di kawasan Coredo dekat studio. Suasana Jepang dengan warna-warna bangunan yang hitam dengan ornamen lampion di depan pintu atau jendelanya, sangat pas memberikan nuansa Jepang pada pengambilan gambar kami dalam pakaian kimono. Suatu pengalaman berharga. ©RHY (March 2015)
Kimono:
She explained how to pose before take the picture. |
Beberapa
pakaian dalam Kimono:
1. Hadajuban(dalaman)
2.
Susoyo (bawahan)
3. Hanjuban
(blouse)
4. Nagajuban (dalaman panjang terusan,
terdiri dari atasan dan bawahan yg bersatu, biasanya dari sutera)
6. Kimono
7. Obi
Info:
Kyoraku-Tei (artinya: bridge and joy)
Coredo Muromachi 3, 3
Floor
1-5-5 Nihonbashi
Muromachi, Chuo-ku, Tokyo
Nearest stations: Tokyo
Metro Hanzomon Line/Ginza Line, Mitsukoshimae Station, exit A4; JR Spbu Line
Rapid, Shin-Nihonbashi Station, direct access.
Reservation:
Nihonbashi Information
Center:
Coredo Muromachi B1
2-2-1 Nihonbashi
Muromachi, Chuo-ku, Tokyo
Tel-+81-3-3242-0010
Open: 10.00-21.00 www.facebook.com/nihonbashi.information
(L-R) Noriko Ikeda, Hanako, Emi |
photos: RHY