Sunday, 1 March 2015

The Kimono Experience

Ketika Jepang menyapa dunia melalui Kimono

©Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Tokyo).

       Jepang memiliki perhatian sangat tinggi dalam memelihara kebudayaan tradisionalnya di tengah perkembangan teknologi moderen yang melesat pesat.   
        Termasuk  memperkenalkan budayanya kepada dunia, antara lain pakaian nasional (minzoku isho)  “Kimono”. Menjelang tahun Olympiade 2020, di mana Tokyo menjadi candidate city penyelenggaraan pesta olahraga dunia itu, Jepang bersiap-siap.  Negara ini akan membuktikan kultural negerinya  akan mampu menyatukan bangsa-bangsa dengan daya tarik kebudayaannya.

               Saya adalah salah seorang yang merasakan persiapan itu. Suatu hari di awal Januari 2015 saya ditawari Noriko Ikeda, seorang teman Jepang di kelas “tole painting”, apakah bersedia dipakaikan dan diperkenalkan dengan Kimono. “Oh, dengan senang hati,” sambut saya cepat-cepat. Suami Noriko, Yoshimasa Ikeda, yang bekerja sebagai manager di divisi Kimono di Departemen Store kelas atas di Tokyo, secara pribadi terpanggil sukarela mendedikasikan dirinya untuk mengenalkan Kimono kepada dunia.

Emira with Ikeda.
                Antara lain yang ia lakukan pergi ke Vietnam khusus untuk mengenalkan Kimono ke masyarakat Vietnam. Artinya, lima tahun sebelum tahun 2020, semua persiapan sudah mengarah untuk memberikan pertunjukan budaya yang terbaik buat tamu-tamu dunia. Buat bangsanya  sendiri, 
               Pak Ikeda juga mengadakan kegiatan membantu memberikan kesempatan warga di daerah bencana untuk tetap bisa mengenakan Yukata (baju tradisional Jepang/Kimono musim panas), misalnya bagi masyarakat di daerah bencana gempa dan tsunami 2011 tempo hari.  “Pada saat musim panas, kami menyediakan pakaian Yukata untuk bisa mereka kenakan ketika hanabi (pesta kembang api di musim panas). Kemungkinan besar, ketika bencana itu pakaian yukata atau kimono mereka rusak atau hilang, kami membawakan atau meminjamkan yukata untuk dikenakan pada matsuri (pesta rakyat),” papar Noriko. 
                     
                Tata cara berkimono antara lain memperlihatkan kerapian kerah di depan dada, kerah di bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri; dan kerah di bagian leher belakang pun tertata rapi. Sabuk lebar  disebut obi yang dililitkan di badan dari bawah dada hingga pinggang dengan sisa kain obi dibuat bentuk tertentu di bagian punggung, diberi hiasan tali obi dengan simpul cantik, dan sanggul penghias rambut; alas kaki mengenakan sandal jepit yang disebut zori atau geta dengan berkaus-kaki putih bernama tabi
                   Ketika ditawari untuk mencoba berpakaian kimono, saya katakan akan mengenakan hijab (jilbab) di kepala yang menutupi rambut sebagai cara berpakaian sehari-hari, seraya  menjelaskan alasannya. “Jika nanti 2020, ada bangsa-bangsa lain muslimah  yang ingin mengenakan Kimono, saya kirapun akan seperti begitu,” jelas saya kepada Noriko. “Tentu samasekali tidak menjadi masalah, malah senang sekali kalau Emi bersedia  kami pakaikan Kimono,” ujar Noriko. Ia sangat memahami, sekaligus baginya mungkin saya telah berbagi pengalaman jika mengenakan kimono dengan mengenakan hijab.  


         Kami sepakati hari Sabtu, 7 Februari 2015, menjelang siang kami berangkat ke Nihonbashi, Tokyo. Tujuannya ke Coredo (coridor edo), wilayah bisnis yang terkenal di Nihonbashi –salah satu daerah bersejarah/tua kota Tokyo. Tepatnya ke Kyoraku-Tei, studio Kimono di departement sore Coredo Muromachi 3, lantai 3.  ini juga menyewakan tempat untuk tea room, dan ruang acara. Sejak musim semi 2014  Kyoraku-Tei menjadi tempat “omotenashi” untuk mendapat pengalaman tentang dunia tradisional Jepang.   

           Pak Ikeda bekerja sama dengan Shin-Nichiya (http://www.shinnichiya.com) dalam penyelenggaraan perkenalan budaya tradisional Jepang untuk orang-orang asing,siapapun. Mereka menggunakan  studio Kyoraku-Tei untuk memperkenal pakaian tradisional Kimono Jepang ini kepada orang-orang bangsa lain, termasuk ke orang Jepang sendiri.


            Untuk menyewa Kimono di Kyoraku-Tei dihargai ¥5,500  dari jam 10.30-15.30, setiap hari Kamis dan Sabtu.  Setelah didandani kimono atau yukata (untuk musim panas), kita bisa pergi sendiri berfoto-foto kemana saja suka dengan membawa kamera sendiri, lalu jam 18.00 pakaian kimono harus dikembalikan. Semua barang kita yang tidak perlu dibawa bisa gratis dititipkan di studio.
             
              Saya sangat beruntung karena semua diberikan gratis. Pak Ikeda dan istrinya Noriko yang teman saya tadi memberikan kesempatan mencobakan proyek volunter nya kepada saya dan anak gadis saya, Emira Rosyada.  Noriko membawa Kimono koleksinya untuk kami kenakan. 
        Saya memilih warna keemasan yang elegan, kebetulan pas dengan dengan warna scarf sutera hijab yang saya pakai hari itu, dan Emira mengenakan kimono berlengan panjang warna merah muda (disebut furisode) spesial untuk anak gadis yang memasuki usia 20 tahun. “Furisode yang ciri khasnya adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai ini hanya bisa dikenakan oleh anak gadis yang belum menikah,” kata Kimono dresser kami. Dua orang Kimono-dresser mendandani kami. Obi saya dibentuk seperti gunung Fuji.
          Setelah siap, kami berfoto sejenak di studio dengan interior di dalam ruangan. Pajangan Kimono yang dilebarkan yang digantung di tapestry holder dan payung Wagasa, payung khas Jepang yang terbuat dari kertas washi

sebagai latar belakang pemotretan
di dalam studio.
            Lalu kami lebih memilih berfoto dengan suasana luar, yaitu di jalan kecil di kawasan Coredo dekat studio.  Suasana Jepang dengan warna-warna bangunan yang hitam dengan ornamen lampion di depan pintu atau jendelanya, sangat pas memberikan nuansa Jepang pada pengambilan gambar kami dalam pakaian kimono. Suatu pengalaman berharga. ©RHY (March 2015)




Kimono: 
She explained how to pose before take the picture.
Mengenakan Kimono, diawali dengan mengenakan beberapa helai baju dalam. Kain Kimono sangat spesial dan memerlukan penanganan khusus, hingga sangat jarang dicuci. Kimono biasanya berbahan kain berkualitas tinggi, dan dijahit tangan. Karena itu baju dalam ini sangat penting dipakai untuk melindungi kimono agar tidak cepat kotor.

Beberapa pakaian dalam Kimono:

1. Hadajuban(dalaman)
2. Susoyo (bawahan)
3. Hanjuban (blouse)
4. Nagajuban (dalaman panjang terusan, terdiri dari atasan dan bawahan yg bersatu, biasanya dari sutera)
5. Sarasi
6. Kimono
7. Obi










Info:
Kyoraku-Tei (artinya: bridge and joy)
Coredo Muromachi 3, 3 Floor
1-5-5 Nihonbashi Muromachi, Chuo-ku, Tokyo
Nearest stations: Tokyo Metro Hanzomon Line/Ginza Line, Mitsukoshimae Station, exit A4; JR Spbu Line Rapid, Shin-Nihonbashi Station, direct access.

Reservation:
Nihonbashi Information Center:
Coredo Muromachi B1
2-2-1 Nihonbashi Muromachi, Chuo-ku, Tokyo
Tel-+81-3-3242-0010
 Open: 10.00-21.00  
www.facebook.com/nihonbashi.information


(L-R) Noriko Ikeda, Hanako, Emi      


 photos: RHY
                                                                                






HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...