http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=16&date=2016-11-30
Perempuan untuk Perubahan Iklim
Oleh: Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Marrakesh)
Perempuan Indonesia telah melakukan praktik-praktik dan inovasi terbaiknya dalam mendukung aksimitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.Berbagai negosiasi dibicarakan dunia, yang terakhir diCOP (Conference of Parties) 22 UNFCCC (The United Nations Framework Convention on Climate Change), November 2016 di Marrakesh, Maroko. Di konperensiitu, Pavilion Indonesia yang diselenggarakanKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)mengetengahkan tema Empowering innovations andenhancing climate actions for sustainable development.Saat ini Indonesia berada dalam proses meningkatkaninovasi dan langkah-langkah terbaik di lapangan untukdipromosikan menjadi model dalam upaya perubahan iklim.
Untuk sekadar menyegarkan ingatan, perubahan iklim ini menyebabkan perubahan ekosistem yang berdampak buruk bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Terjadi perubahan negatif lingkungan bumi, tingkat radiasi yang tinggi, yang membahayakan kesehatan makhluk hidup. Mencairnya glacier di kutubmenyebabkan naiknya permukaan laut, bisa berakibat menenggelamkan pulau-pulau kecil, dan terendamnya daratan.
Tulisan ini menyoroti peran perempuan. Isu genderselalu diketengahkan dalam negosiasi internasional.Dalam Paris Agreement dari COP21 tahun lalu ditegaskan dalam Artikel 7 Ayat 5, program-program adaptasi untuk perubahan iklim responsif terhadapgender. Intinya, peranan perempuan diharapkan turut mempengaruhi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim -- mitigasi (secara jangka panjang untuk upaya pencegahan, menahan, menghindari, mengurangi emisi gas rumah kaca/GRK); dan adaptasi (reaksi makhluk hidup untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim) untuk meningkatkan kapasitas seluruh pihak dalam menghadapi perubahan iklim.
Di COP 22, Pavilion Indonesia menyajikanforum multi pihak dengan tajuk “Gender and Climate Change Actions”.Kenapa perempuan memilikiperanan penting? Kendati di suatu masyarakatpatriarkat yang mementingkan garis lelaki, perempuantetap sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. “Perempuan harus paham apa saja urusan yang membuat bumi ini ramah terhadap penghuninya.Pemberdayaan perempuan memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga, yang ternyata bisa mempercepat implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Maka penting mengedukasi perempuan sebagai garda terdepan yang mendidik generasi penerus dalam kegiatan penyelamatan lingkungan," jelas Dr. Agus Justianto, Staff Ahli Menteri bidang Ekonomi Sumber Daya Alam KLHK yang menjadi penanggungjawab Pavilion Indonesia.
Agus menambahkan, signifikan dengan niat mengurangi perubahan iklim, maka seluruh upaya,termasuk melibatkan peran perempuan tadi harus disegerakan untuk mencegah deforestasi dan degradasihutan –-salah satu penyebab emisi gas rumah kaca.
PEMAHAMAN pencegahan perubahan iklim harus sampai ke telinga para perempuan mulai dari akar rumput, sebagai penggerak ekonomi sosial masyarakat. Upaya ini datang dari mana-mana , antara lain dari inisiatif ITTO (International Tropical Timber Organization) yang bermarkas di Yokohama dan KLHK,di Taman Nasional Betung Kerihun, kawasan konservasi terbesar di Kalimatan Barat.
“Para perempuan di desa paham hutan perlu dilindungi dari kegiatan ilegal, ” kata Yani Septiani, Koordinator kegiatan ITTO di TNBK. Program ITTO dalam kegiatan konservasi ekosistem di daerah perbatasan di Indonesia berlangsung sejak 1991; dan pada perkembangan tahun-tahun berikutnya dirancang melibatkan para perempuan penggerak dari tingkat nasional hingga tingkat tapak. Kegiatan ini cukup dikenal di lingkungan masyarakat, terutama di desa Manua Sadap, Desa Datah Diaan dan Desa Labian Iraang.
Kehutanan umumnya dianggap sebagai sektoryang sangat laki-laki, kadang membatasi partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan dan pengambilan keputusan, karena batasan sosial, budaya setempat.Namun sebenarnya pengelolaan sumberdaya hutan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup memiliki dimensi gender sangat kuat. Banyak potensi perempuansangat signifikan dalam upaya perlindungan hutan,misal dalam kegiatan kampanye lingkungan, ekowisata, pembibitan tanaman di persemaian dan pemanfaatan tanaman obat dan hasil hutan bukan kayu lainnya, yang berkelanjutan. Perbedaan antara laki dan perempuan penting disinergikan dan diperhitungkan dalam merancang dan melaksanakan program sumber daya hutan, demikian menurut pengalaman Yani di lapangan.
Wilayah TNBK seluas 816.000 hektar, berbatasan dengan Sarawak (Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary dan Batang Ai national Park) merupakan kawasan konservasi lintas batas (transboundary reserve) pertama di Asia, sangat kaya keanekaragaman hayati, keindahan alam, dan keunikan budayanya. Maka para perempuan kawasan ini harus terlibat dalam kegiatan penyelamatan lingkungan melalui berbagai edukasi, pemberian informasi.
“Hasil studi kami tentang kampanye penanganan kegiatan ilegal seperti illegal logging, perdagangan satwa dan tumbuhan liar di Kalimantan, bahwa dengan melibatkan kelompok perempuan dalam kegiatan hasilnya jauh lebih efektif. Perempuan dapat bercerita kepada anak-anaknya. Saya melihat komunikasi dan pemahamaman tentang isu konservasi dan lingkungan dimulai dari tingkat keluarga,” kata Yani. Dalam melaksanakan kegiatan program, tim selalu mempertimbangkan suara perempuan dalam proses pengambilan keputusan.
Kegiatan proyek ITTO ini sendiri, selain fokusnya untuk konservasi ekosistem di daerah perbatasan wilayahTNBK, juga mendukung peningkatan kesejateraan masyarakat lokal. Kegiatannya kongkritnya adalah pelaksanaan aksi adaptasi dan mitigasi di tingkat tapak:
BIOGAS
Dalam program biogas yang diperkenalkan di sana,masyarakat dapat memanfaatkan kotoran ternak dan sampah organik. Kedua limbah ini mengeluarkan gasmethane, yang jika tidak dimanfaatkan akan menimbulkan emisi. Dengan memanfaatkannya menjadi energi terbarukan biogas yang lebih ramah lingkungan, ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
Saat ini masyarakat lokal di TNBK yang berbatasan dengan Sarawak belum memiliki listrik; kebutuhan energi untuk memasak terpaksa diperoleh dengan membeli gas di Sarawak dengan harga cukup mahal. Sebagian masyarakat menggunakan kayu bakar dari kawasan hutan –tentu ini tidak menguntungkan. Nah, biogas tadi yang kemudian menyelamatkan mereka untuk memasak dan menikmati listrik. Hasil turunan lainproses biogas adalah pupuk organik untuk bertanam sayuran organik. Masyarakat berbahagia menikmati hasil cocok-tanamnya. Mereka di desa Manua Sadap, misalnya, lantas bisa menghemat dua hingga tiga juta rupiah perbulan dengan bercocok-tanam sendiri –uang yang semula dibelanjakan sayuran di Sarawak.
“Kami paham, jika merusak hutan, bencana akan datang, seperti banjir saat musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, yang sekarang sering kami rasakan,” demikian ujar seorang ibu. Suku Dayak sendiri memang telah memiliki kearifan lokal untuk melindungi hutan dan satwa di dalamnya, dan ini perlu dipertahankan melalui berbagai kerjasama multi pihak.
TENUN WARNA ALAMI
Peningkatan ekonomi kreatif suku Dayak harus sungguh diupayakan, apalagi karena signifikan dengan upaya manajemen perubahan iklim. Semisal, untukkerajinan tenun dan anyaman bemban (Donax), mereka didorong agar menggunakan bahan pewarna alam dibanding bahan kimia. Ini tentu saja akan menyumbang kepada rendahnya keluaran karbon dibandingkan bila menggunakan bahan kimia yang lebih beracun.
Kegiatan ITTO dalam pemberdayaan para perempuan di TNBK, pada tahun 2016 mulai bekerjasama dengan partner nasional Warlami, organisasi pewarnaan alam dan serat Indonesia.
Warlami adalah perkumpulan Warna Alam Indonesia yg terdiri dari komunitas pelaku, perajin, peneliti, akademisi pewarnaan alam yang mempunyai visi sama; yaitu di hulu melestarikan warisan budaya mempergunakan pewarnaan alam , di hilir mengedukasi dan mempromosikan pasar pewarnaan alam yangramah lingkungan; mulai masuk ke Kaltim sejak 2010,dan ke Kalbar mulai 2013 hingga kini.
Di danau Sentarum,Kalimantan Barat, Warlami meningkatkan kemampuan perempuan melalui pelatihan untuk memproduksi lebih bagus lagi kerajinan tangan anyaman bahan alam bemban, sehingga berdaya ekonomi tinggi. Termasuk tenun ikat dariBetung Kerihun, desa Manua Sadap, Sidan, dan desa Singkil.
Di Kalimantan Timur, para perempuan Dayak Benuq di Kutai Barat-Kaltim, khususnya di Tanjung Isuy telah mendapat pembinaan dari Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional) dan berbagai pihak non pemerintah, untuk melestarikan Ulap Doyo (kain Doyo).
Hutan Kalimantan kaya akan tumbuhan yang bisa menghasilkan pewarna alam, seperti tanaman Putri Malu, kulit buah dan biji buah gelinggam (Bixa) yang menghasilkan warna merah, daun jambu, lumpur, daun Tarum, ranting pohon Bangkal, umbi tanaman Doyo, serbuk kulit kayu dan ranting, daun kayu Belian, daun dan batang Ketapang, warna lain dari daun mangga.
“Program kami diawali oleh Dekranas (2010), dankemudian dikembangkan Warlami, memang bak setetes air di musim kemarau. Sungguh bisa mengangkat kembali tradisi Dayak sebagai penjaga hutan Kalimantan,” kata Myra Widiono, ketua Warlami.
Saat ini masyarakat menanam Doyo (Curculigo Latifolia) di kebun sekitar rumah, tidak lagi ambil jauh-jauh di hutan; akses mendapat daun Doyo di hutan sulit karena sebagian hutan telah berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Mereka juga sekarang menanam pohon Tarum di sekitar rumah untuk pewarna indigo (biru indigo), dan mampu membuat ekstraksi warna.
Berkat pelatihan dan pengetahuan, perajin Ulap Doyo yang dulu hanya banyak di Tanjung Isuy, kini sudah dikuti oleh masyarakat di desa tetangga, desa Batu Bura, keduanya termasuk Kecamatan Jempang,Kabupaten Kutai Barat. “Semula perajin hanya dari kalangan generasi tua di Tanjung Isuy, lalu melalui pendampingan ternyata generasi muda Batu Bura mulaibanyak menekuni. Kini ada 20 orang penenun tangguh yang terampil teknik ikat, teknik pewarnaan alam, teknik desain motif, teknik memintal benang Doyo --keterampilannya melampaui perajin Tanjung Isuy. Artinya bagus, regerenasinya berjalan,” jelas Myra.
Para perajin Batubura banyak mendapat pesanan dari Jakarta; perajin Tanjung Isuy banyak menerima pesanan dari Pemda yang menyenangi pewarna kimia yang cerah.
“Melalui peningkatan kualitas tenun ikat pewarnaan alam dengan desain sesuai selera pasar, dapat menaikkan sosial dan ekonomi keluarganya. Inimengurangi kesempatan menjadi buruh illegal loggingatau merambah hutan untuk kebutuhan ekonomi. Dari segi sosial, interaksi dengan peningkatan permintaan produk akan menambah wawasan nasional dan global, ”papar Myra.
Limbah dari bahan pewarna alami akan cepat terurai, bisa menjadi kompos untuk pupuk , sementara jika limbah pewarna kimia akan susah terurai, banyak mengandung zat berbahaya , menjadi polusi dan menimbulkan GRK. Pemanfaat bahan alami tentu menghemat biaya daripada harus membeli bahan kimia di Sarawak.
Saat ini sudah ada standard pengukuran sebagai upaya kelompok perempuan dalam pengurangan emisi, disebut “Woman carbon standard”. Indikatornya adalah aspek-aspek sosial. Sehingga kontribusi perempuan, misalnya di TNBK, yang ikut menurunkan emisi tersebut bisa mendapat insentif.
Pesan Indonesia kepada dunia antara lain,” Mendorong pencapaian target penurunan emisi dan agenda adaptasi sebelum tahun 2020 sebagai landasan kuat pelaksanaan komitmen negara-negara pasca 2020. Perhatian juga ditujukan antara lain terhadap program adaptasi, mitigasi, dan dukungan pendanaan, alih teknologi,” demikian Dr. Nur Masripatin, Ketua Negosiator Delegasi Indonesia pada penutupan COP 22 UNFCCC, Marrakesh, (19/11). ©
Foto-foto: Rahmayanti Helmi Yanuariadi