Published in Sindo, 13 November 2012 p. 16.
http://www.scraperone.com/koran/seputarindonesia_20121113.pdf
Hingga detik ini urusan sampah di Indonesia
belum menggembirakan. Rasanya sudah cukup banyak melihat dan belajar dari
pengalaman bangsa lain, terlebih dari pengalaman sendiri --banjir, got mampet
gara-gara sampah, pasir pantai bertebar sampah, belum lagi bau, kotor. Gunung
sampah semakin menjulang di TPA. Mencoba inovasi baru pengelolan sampah
terjangkau menjadi penting!
Teks: Rahmayanti
Helmi Yanuariadi (Kontributor Sindo di Tokyo).
Melihat
kota-kota di Jepang yang bersih, bukan tanpa usaha. Satu contoh dalam kehidupan
sehari-hari, di taman kota yang luas, sering tidak disediakan tempat pembuangan
sampah umum untuk keindahan; kalaupun ada itu berupa tempat sampah ukuran biasa
saja. Masyarakat Jepang yang gemar menghabiskan waktu di taman kota di hari
libur untuk bermain, piknik membawa makanan, atau berbabeque, diminta atau
tidak diminta selalu wajib membawa sampahnya masing-masing pulang; tidak
mengotori atau memenuhi bak sampah yang kecil itu, sampai berserakan, misalnya.
Itu dari sisi individu. Bisa begini karena bangsa ini belajar dari pengalaman berabad.
Dari sistem pengolahan sampah, mereka memiliki managemen pengelolaan sampah
yang canggih: pemilahan jenis sampah, dan sistem mendaur ulang.
Buat kita, satu persatu individu sangat bisa memutuskan untuk mengelola
sampah dengan baik, tapi sayangnya itu hanya sebatas dinding rumah; tetap saja
hasil akhirnya masih jauh dari sempurna, karena menjadi berantakan setelah membaur
dengan masyarakat yang kesadaran dan pengetahuan soal sampah sangat “terserah
gue” (baca: beragam). Tapi apakah ini karena mayoritas bangsa kita masih
memikirkan bagaimana supaya tidak lapar? Apapun itu, tidak ada salahnya coba
atasi, kita bisa lakukan kalau mau! Mau tak mau, tata jiwa dan tata
infrastrukturnya.
Bagaimana menangani karakter sampah di Indonesia yang sudah ‘telanjur campur’
--tidak dipisah-pisah dalam pengelolannya? Inilah alasan kenapa sejumlah
mahasiswa Indonesia memilih studi pengolahan sampah di Jepang, berharap pengelolaan
sampah di tanah air bisa lebih baik. Bayu Indrawan, mahasiswa kandidat doktor
dari Department of Environmental Science and Technology-Tokyo Institute of
Technology-Jepang adalah salah seorangnya. Kegelisahan mengarahkannya kepada
pencarian teknologi alternatif yang
sesuai kondisi sampah di Indonesia.Yaitu mengolah sampah yang awalnya tercampur
menjadi produk bermanfaat yang homogen. Beruntung di Tokyo Institut of
Technology, universitas riset terkemuka di Jepang tempat ia menjalani program
doktoralnya, memperkenalkan teknologi hydrothermal bernama RRS (Resource Recycling System).
Cocok dengan karakter sampah campur Indonesia yang tak perlu pemisahan
(80% bahan organik dan campuran plastik), RRS menggunakan gas bertekanan dan
uap suhu tinggi (30 atm, 200°C). Cara ini lebih ramah lingkungan, relatif
murah, teknologi lebih sederhana, sehingga komponen kandungan lokal bisa
mendekati 90%. “Uang tidak perlu dibelanjakan ke negara lain,” jelasnya. Teknologi
alternatif ini sudah diterapkan secara komersial di Jepang, antara lain di
Hokkaido, Nagoya, dan Ichinomiya.
Sampah
campur perkotaan (Municipal Solid Waste/MSW) dan sampah pertanian dimasukkan ke
reaktor, disusul memasukkan uap bertekanan tinggi dari boiler. Dengan blender (alat pelebur), sampah di dalam reaktor terurai dalam
waktu 30-60 menit. Hasil sementara berupa lumpur. Pengeringan lumpur, kering sendiri jika dibiarkan dua
hari, atau disemprot dengan uap
panas dan hasilnya akan langsung kering --berupa bubuk menyerupai bubuk
batubara. “Karena hanya
menggunakan uap bertekanan tinggi, maka tidak menghasilkan zat kimia berbahaya.
Bau juga hilang, dan bakteri mati karena suhu tinggi.”
Hasil akhirnya bisa menjadi bahan penyubur tanah, bahan bakar padat
(menyerupai batu bara), bagus untuk bahan bakar oven di industri crude palm oil,
pabrik keramik, boiler (pemanasan untuk tenaga listrk), pabrik semen; dalam skala
kecil bisa dijadikan briket seperti arang untuk memasak.
Riset Bayu menegaskan 20% dari hasil produk ini bila dicampur dengan
80% batubara yang digunakan pada pembakaran akan tidak mengubah karakteristik
pembakaran di power plant boiler (boiler pembangkit listrik), pembakaran di pabrik
semen, pabrik kertas, atau pabrik baja.
Nilai kalorinya sebanding dengan nilai kalori batu bara; kalorinya (kemampuan
untuk membangkitkan panas) hampir sama dengan batu bara (5000-6000 kilo kalori
atau kcal/kg). Produk akhir sampah ini mengandung sekira 5000-an kcal/kg tergantung
karakterikstik sampah; misalnya sampah organik, sampah plastik jika dikeringkan
bisa mengandung kalori tinggi. “Uji
kelayakan untuk hasil pengolahan yang mengandung air, gas, padatan tersebut
sudah memenuhi standar aman,” kata Bayu.
Untuk kapasitas pengolahan sampah yang sama,
dibandingkan dengan sistem incinerator misalnya, investasi awal RRS 60% lebih murah dari cara incinerator (baca juga: “Pengelolaan
Sampah selama ini…”); biaya operasional dan pemeliharaan instalasi 55% lebih rendah, dan pula menghasilkan
produk bermanfaat, antara lain sebagai alternatif bahan bakar pengganti batu
bara. Batubara adalah non renewable
energy yang lama-kelamaan habis, dan tidak ramah lingkungan. Hasil olahan
sampah ini bisa mengurangi penggunaaan batubara. Dan produk ini relatif lebih
bersih dibanding batubara, mengurangi dampak lingkungan yang dikeluarkan akibat
pembakaran produk.
Membutuhkan
lahan sedikit, 200 ton/hari sampah cukup ditampung di lahan setengah hektar
(0,5 ha), hasil produk tadi memiliki kepadatan tinggi. Dari tumpukan sampah yang banyak menjadi
tumpukan kecil lagi bermanfaat. Efisiensi teknologi pengolahan sampah ini
tinggi, hanya membutuhkan energi di bawah 20% dari keluaran yang dihasilkan untuk
menjalankan sistem pengolahan sampah. Jadi bisa memenuhi diri sendiri (self sustainable system) atau tidak
perlu energi tambahan dari luar untuk menjalankannya.
Contoh
skala kecil di satu komplek perumahan; misal, satu orang membuang sampah 0,8-1kg/hari
, satu perumahan 50 KK (Kepala Keluarga) x 3 orang =150 orang dengan sampah 150
kg /hari. Ini menggunakan reaktor pressure vessel 100 liter -200 liter kira-kira
sebesar drum sampah. Sangat
simple. Diproses 1-2 jam, cukup
memerlukan sebidang tanah 3 x 4 meter persegi termasuk untuk proses pengeringan.
Skala kecil ini bisa dipres, dikeringkan menjadi briket.
Dari
pengamatan Bayu, diketahui sampah kota Palembang 600 ton-800 ton/hari, kota Bantaeng
di Sulawesi Selatan 50 ton/hari, dan Jambi 400 ton/hari. Ambilah kira-kira 400
ton/hari, memerlukan lahan pengolahan 1 hektar di TPA, nah dengan sistem RRS
sebenarnya hanya memerlukan tempat 200 m2, dan tempat pengeringannya cukup 800 m2 sekalian tempat pengeringan
produk. Malah bisa lebih kecil lagi bila langsung dikeringkan dan tidak perlu ada
tempat menyimpan stok kering.
Teknologi
hydrothermal dinamai RRS (Resource Recycling System) ini adalah paten dari
Prof. Kunio Yoshikawa dari Tokyo Institute of Technology. Prof. Yoshikawa menemukan
teknologi ini awal 2007, tahun 2009 dibuktikan di Hokkaido. Kini mencoba pasar di
Indonesia, namun malah negara lain yang lebih dulu mengaplikasikan. Menurut
Yoshikawa, pola investasi di Indonesia tidak berani memulai sesuatu, jika belum
ada bukti. Bila ada bukti, baru mau (baca: ikut-ikutan) mengerjakan. Bila belum
ada bukti , masih enggan. ”Jadi, susah jadi pioner, maunya jadi follower,” katanya.
Bayu, 26, kelahiran Palembang ini dalam studi pasca sarjananya memfokuskan
bagaimana mengurangi efek negatif lingkungan dari produk keluaran dalam keadaan
sampai kering, dan pengintegrasian penggunaan produk tersebut untuk dibakar
bersama batubara. Rata-rata produk itu mengeluarkan kandungan chlorine di
atas 5000 ppm, dan ia berhasil menurunkan
dengan standar di bawah 3000 ppm --produk keluaran pertama dicuci dengan air,
sehingga chlorine dapat dipisahkan dari produk, dan hasilnya menjadi produk
bersih dan ramah lingkungan. Penelitiannya dilakukan
di plant pengolahan sampah yang sudah dibuat oleh sensei Yoshikawa secara komersial di Hokkaido, Nagoya,
Shanghai (ada dua plantation), Mongolia (1 plant), Vietnam, Thailand, dan Srilanka
sedang dikerjakan.
Yoshikawa membimbing 36 mahasiswa di seluruh dunia (mayoritas dari Cina
dan Indonesia). Ada tiga kelompok mahasiswa yang belajar di bidang pengolahan
sampah menjadi energi (waste to energy)
dengan produk hasil pengolahan sampah dalam bentuk energi gas, likuid, dan bahan bakar padat. Bayu memilih “padat”
karena di Indonesia paling cocok untuk bisa diaplikasikan secara komersial.
“Teknologi
padat ini adalah teknologi unggulan dari lab ini yang bisa diaplikasikan secara
komersial,” papar sarjana S1 elektro di Universitas Sriwijaya, S2 elektro Universitas
Indonesia, dan S3 di Jepang ini
Di
Indonesia, karakter khas di lingkungan sampah, yaitu abang-abang petugas sampah
di perumahan pun bisa dipekerjakan di plant RRS. Mereka bisa dipekerjakan untuk
mengepres briket dari produk keluaran, memilah sampah besi dan glass yang tidak
bisa dibakar.”
Produk keluaran berupa bahan bakar bubuk ini bisa
sebagai pengganti batubara untuk berbagai aplikasi pembakaran (combustion). Jika dicampur batubara,
tidak perlu memodifikasi tungku pembakaran yang sebelumnya sudah ada, tidak
perlu pula mengganti boiler, dan lain-lain, karena karakteristik pembakarannya
relatif tidak berubah.
Pun kalau 100% produk keluaran pengolahan sampah
ini digunakan, bisa dibuatkan tungku pembakaran, boiller, dll, khusus untuk
aplikasi tersebut. Hasil keluarannya bisa untuk listrik, ataupun bahan bakar
padat untuk industri/pabrik. Sebagai bahan yang bisa menjadi pengganti
batubara, bisa menurunkan biaya operasional. Sebagai briket saja, 100% digunakan untuk kompor briket guna
memasak di rumah tangga, maupun industri kecil.
Saat ini ia
tengah memperkenalkan informasi teknologi ini ke berbagai negara di Eropa,
Amerika, Afrika, dan Asia. ”Termasuk juga cukup intensif memperkenalkan
teknologi persampahan ini ke Kepala-kepala Daerah di Indonesia, dan mendapatkan
respon cukup baik. Dibutuhkan komitmen tinggi dari Kepala Daerah untuk menyelesaikan
masalah sampah perkotaan melalui aplikasi teknologi pengolahan sampah tersebut,”
kata Bayu. RRS punya kelebihan,
”Sangat jarang ada teknologi pengolahan sampah yang ekonomis, punya efisiensi
tinggi, dan bisa dikomersialkan (karena produk hasilnya bisa
dimanfaatkan/dijual untuk proses pembakaran di berbagai pabrik tadi), dan itu
ada pada RRS.” ¨
Pengelolaan
Sampah selama ini…
Selama ini yang diterapkan di Indonesia
adalah TPA (Tempat Pembuangan Akhir), karena masih memiliki lahan cukup luas.
Idealnya TPA menerapkan land filling (TPA dengan proses
pengolahan: memiliki saluran pembuangan air/water
waste treatment, penimbunan di
bawah tanah. Sayangnya, ini hanya ditumpuk aja (open dumping), seharusnya dibuat galian utk tempat sampah (land filling).
Sebagian kecil sampah diatasi dengan daur
ulang plastik, besi , kertas yang masih bisa dimanfaatkan. Pemulung sebagai
roda recycle mengambil sekira 5%-10%
saja dari sampah, mengirimnya
ke perusahaan daur ulang plastik, besi, kertas. Lagi-lagi sayangnya, perusahaan-perusahaan
itu tidak terkoordinasi satu sama lain.
Di samping itu menerapkan pengolahan sampah jadi pupuk (sistem composting). Juga banyak dengan sistem incinerator (dibakar dengan1000°C menggunakan teknologi mahal). Sistem ini
kabarnya di suatu kota di Jawa Barat (2009) ditolak masyarakat, karena relatif tidak ramah lingkungan, karena membakar
langsung sampah tersebut. Proses ini mengeluarkan dioksin (gas pencemar lingkungan),
SOx (sulfur oksida), NOx (nitrogen oksida). Lagi pula, efisiensi pembakarannya
rendah, hasilnya menjadi sampah basah, karena antara sampah organik, plastik,
dan kayu bercampur. Dengan
dibakar, akan menghasilkan panas yang bisa diubah menjadi listrik. Di Indonesia,
model incinerator ini masih berskala
kecil –seperti di kalangan industri, pabrik, rumah sakit--listriknya digunakan mereka
sendiri. Di Jepang setiap kota/kelurahan/distrik memiliki incinerator. Dengan teknologi baru, efek samping dari pengolahan
sampah tersebut bisa dikurangi, sayangnya teknologi ini terbilang mahal. Nah,
biaya yang tinggi ini masih menjadi kendala di Indonesia.
Di Indonesia, sebagian juga menggunakan cara metan capture --menangkap gas metan (gas yang mencemari lingkungan yang
bisa merusak ozon) di TPA. Gas tidak keluar ke alam, tapi ditangkap menjadi
bahan bakar gas pembangkit listrik tenaga gas. Tapi ini hanya menangkap gas
tanpa mengolah sampahnya, jadi benda berupa sampah itu masih tetap menumpuk.
Contohnya di Palembang, Bantar Gebang-Jakarta --biasanya untuk proyek CDM (Clean
Development Mechanism, bahwa siapa saja boleh membuat proposal untuk mengurangi
dampak lingkungan yang dibiayai oleh negara-negara industri yang banyak
mengeluarkan COx/pencemar lingkungan). Ini sejalan dengan Kyoto Protokol (perjanjian
internasional yang mengikat negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca yang menyebabkan menipisnya
lapisan ozon) yang pada intinya mengurangi pencemaran lingkungan.¨