Sunday, 22 November 2015

Kuala Lumpur at a glance



Another visit to Kuala Lumpur after such a long time ago. Met a friend in here, a friend who ever years living in the same city as me, Yokohama.
                         ~~~

Ke Kuala Lumpur saya datang lagi, setelah beberapa tahun yang silam.  Mendampingi suami bekerja, suatu kebahagiaan tersendiri. Tentu saja, saya tak mengusik kesibukannya. 

Waktu seminggu sangat bermanfaat untuk mengenali negeri tetangga ini lebih dekat. Beruntung pula mempunyai kawan-kawan yang pernah bertahun tinggal di kota yang sama, di Yokohama. 

Jumpa Kak Hamisah, begitu saya memanggil nya, seorang Malaysia, yang dulu sering kami mengikuti kegiatan sosial bersama ketika ia masih di Yokohama. 

Senang bisa diantar jalan-jalan ke Central Market di KL, untuk melihat dari dekat karya kerajinan tangan. Pasar seni merefleksikan kebudayaan negeri ini melalui produk-produk craft nya. Perpaduan dan pertemuan kultural Melayu, India, Cina, Arab, menjadikan negara ini kaya rasa. 
KL as a melting pot of the  multicultural and tradition being together. 

Visited some Malaysian friends, to their houses, were the truly tour in KL for me. Knowing them from a close distance. Thanks to Kak Hamisah, also Kak Maryam who was driving us to the friend's houses, enjoyed the picked  rambutan fruits from her garden, bite some perkedel Jagung (fried mashed corn), and enjoyed hot tea; happy to know kak Zihan,  visited Kak Hamisah's and Amir's house (the eldest son of kak Hamisah) and thanks for the sate lontong  yang sedap, so delicious..
Senang bisa kenal dengan semua anak-anak Kak Hamisah dan empat orang cucunya yang comel dan handsome.






Sunny and rainy days were almost everyday with me, during my stay here. 

Making a real Malaysian Batik was a wonderful experience; I met Dianne from California who take classes with Mr. Lazim, the guru/in Malay language. 

While visiting Royal Selangor --pewter  or tin maker in Setapak 15 minutes from KL was a nice day. I love it, because I have been learning how to make silver jewelry, so, for me I have got another knowledge. 











The modern meet the traditional, saya suka, especially the traditional one. Exploring the Little India near the KL Sentral, and trying the original Nasi Kandar -- which I just knew from another Malaysian friend in Yokohama, June Rahim, concluded my days here. 




Putrajaya, with  its 5000 ha, home of the Malaysian Government offices
, is one another interesting attraction. 



Various style of architectures, influenced by different cities in the world, has made Putrajaya becomes an attractive tourism hotspot  in Malaysia.***

#RHY
KL, 22 Nov 2015.

Tuesday, 16 June 2015

Ibuku

      Kata Ibu: "Nanti, kalau mba datang bawa gado-gado, bangunkan Ibu ya..." 
 
       Rumah Ibu terlihat di mataku, luas, terbuka,  dan  putih, ada hehijauan, sejuk rasanya.

        Aku terbangun,  berkali dalam hati aku berkata, itu tadi Ibu, ya..Ibuku. "Allahummaghfirlaha warhamha wa'afihi wa'fu 'anha. Alfatihah."

17 June 2015, sehari sebelum 1 Ramadhan 1436 H, Yokohama.




Photos location: an old historical house,  now as a Cafe The Rose,  Yamate, Yokohama/June 2015

Sunday, 1 March 2015

The Kimono Experience

Ketika Jepang menyapa dunia melalui Kimono

©Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Tokyo).

       Jepang memiliki perhatian sangat tinggi dalam memelihara kebudayaan tradisionalnya di tengah perkembangan teknologi moderen yang melesat pesat.   
        Termasuk  memperkenalkan budayanya kepada dunia, antara lain pakaian nasional (minzoku isho)  “Kimono”. Menjelang tahun Olympiade 2020, di mana Tokyo menjadi candidate city penyelenggaraan pesta olahraga dunia itu, Jepang bersiap-siap.  Negara ini akan membuktikan kultural negerinya  akan mampu menyatukan bangsa-bangsa dengan daya tarik kebudayaannya.

               Saya adalah salah seorang yang merasakan persiapan itu. Suatu hari di awal Januari 2015 saya ditawari Noriko Ikeda, seorang teman Jepang di kelas “tole painting”, apakah bersedia dipakaikan dan diperkenalkan dengan Kimono. “Oh, dengan senang hati,” sambut saya cepat-cepat. Suami Noriko, Yoshimasa Ikeda, yang bekerja sebagai manager di divisi Kimono di Departemen Store kelas atas di Tokyo, secara pribadi terpanggil sukarela mendedikasikan dirinya untuk mengenalkan Kimono kepada dunia.

Emira with Ikeda.
                Antara lain yang ia lakukan pergi ke Vietnam khusus untuk mengenalkan Kimono ke masyarakat Vietnam. Artinya, lima tahun sebelum tahun 2020, semua persiapan sudah mengarah untuk memberikan pertunjukan budaya yang terbaik buat tamu-tamu dunia. Buat bangsanya  sendiri, 
               Pak Ikeda juga mengadakan kegiatan membantu memberikan kesempatan warga di daerah bencana untuk tetap bisa mengenakan Yukata (baju tradisional Jepang/Kimono musim panas), misalnya bagi masyarakat di daerah bencana gempa dan tsunami 2011 tempo hari.  “Pada saat musim panas, kami menyediakan pakaian Yukata untuk bisa mereka kenakan ketika hanabi (pesta kembang api di musim panas). Kemungkinan besar, ketika bencana itu pakaian yukata atau kimono mereka rusak atau hilang, kami membawakan atau meminjamkan yukata untuk dikenakan pada matsuri (pesta rakyat),” papar Noriko. 
                     
                Tata cara berkimono antara lain memperlihatkan kerapian kerah di depan dada, kerah di bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri; dan kerah di bagian leher belakang pun tertata rapi. Sabuk lebar  disebut obi yang dililitkan di badan dari bawah dada hingga pinggang dengan sisa kain obi dibuat bentuk tertentu di bagian punggung, diberi hiasan tali obi dengan simpul cantik, dan sanggul penghias rambut; alas kaki mengenakan sandal jepit yang disebut zori atau geta dengan berkaus-kaki putih bernama tabi
                   Ketika ditawari untuk mencoba berpakaian kimono, saya katakan akan mengenakan hijab (jilbab) di kepala yang menutupi rambut sebagai cara berpakaian sehari-hari, seraya  menjelaskan alasannya. “Jika nanti 2020, ada bangsa-bangsa lain muslimah  yang ingin mengenakan Kimono, saya kirapun akan seperti begitu,” jelas saya kepada Noriko. “Tentu samasekali tidak menjadi masalah, malah senang sekali kalau Emi bersedia  kami pakaikan Kimono,” ujar Noriko. Ia sangat memahami, sekaligus baginya mungkin saya telah berbagi pengalaman jika mengenakan kimono dengan mengenakan hijab.  


         Kami sepakati hari Sabtu, 7 Februari 2015, menjelang siang kami berangkat ke Nihonbashi, Tokyo. Tujuannya ke Coredo (coridor edo), wilayah bisnis yang terkenal di Nihonbashi –salah satu daerah bersejarah/tua kota Tokyo. Tepatnya ke Kyoraku-Tei, studio Kimono di departement sore Coredo Muromachi 3, lantai 3.  ini juga menyewakan tempat untuk tea room, dan ruang acara. Sejak musim semi 2014  Kyoraku-Tei menjadi tempat “omotenashi” untuk mendapat pengalaman tentang dunia tradisional Jepang.   

           Pak Ikeda bekerja sama dengan Shin-Nichiya (http://www.shinnichiya.com) dalam penyelenggaraan perkenalan budaya tradisional Jepang untuk orang-orang asing,siapapun. Mereka menggunakan  studio Kyoraku-Tei untuk memperkenal pakaian tradisional Kimono Jepang ini kepada orang-orang bangsa lain, termasuk ke orang Jepang sendiri.


            Untuk menyewa Kimono di Kyoraku-Tei dihargai ¥5,500  dari jam 10.30-15.30, setiap hari Kamis dan Sabtu.  Setelah didandani kimono atau yukata (untuk musim panas), kita bisa pergi sendiri berfoto-foto kemana saja suka dengan membawa kamera sendiri, lalu jam 18.00 pakaian kimono harus dikembalikan. Semua barang kita yang tidak perlu dibawa bisa gratis dititipkan di studio.
             
              Saya sangat beruntung karena semua diberikan gratis. Pak Ikeda dan istrinya Noriko yang teman saya tadi memberikan kesempatan mencobakan proyek volunter nya kepada saya dan anak gadis saya, Emira Rosyada.  Noriko membawa Kimono koleksinya untuk kami kenakan. 
        Saya memilih warna keemasan yang elegan, kebetulan pas dengan dengan warna scarf sutera hijab yang saya pakai hari itu, dan Emira mengenakan kimono berlengan panjang warna merah muda (disebut furisode) spesial untuk anak gadis yang memasuki usia 20 tahun. “Furisode yang ciri khasnya adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai ini hanya bisa dikenakan oleh anak gadis yang belum menikah,” kata Kimono dresser kami. Dua orang Kimono-dresser mendandani kami. Obi saya dibentuk seperti gunung Fuji.
          Setelah siap, kami berfoto sejenak di studio dengan interior di dalam ruangan. Pajangan Kimono yang dilebarkan yang digantung di tapestry holder dan payung Wagasa, payung khas Jepang yang terbuat dari kertas washi

sebagai latar belakang pemotretan
di dalam studio.
            Lalu kami lebih memilih berfoto dengan suasana luar, yaitu di jalan kecil di kawasan Coredo dekat studio.  Suasana Jepang dengan warna-warna bangunan yang hitam dengan ornamen lampion di depan pintu atau jendelanya, sangat pas memberikan nuansa Jepang pada pengambilan gambar kami dalam pakaian kimono. Suatu pengalaman berharga. ©RHY (March 2015)




Kimono: 
She explained how to pose before take the picture.
Mengenakan Kimono, diawali dengan mengenakan beberapa helai baju dalam. Kain Kimono sangat spesial dan memerlukan penanganan khusus, hingga sangat jarang dicuci. Kimono biasanya berbahan kain berkualitas tinggi, dan dijahit tangan. Karena itu baju dalam ini sangat penting dipakai untuk melindungi kimono agar tidak cepat kotor.

Beberapa pakaian dalam Kimono:

1. Hadajuban(dalaman)
2. Susoyo (bawahan)
3. Hanjuban (blouse)
4. Nagajuban (dalaman panjang terusan, terdiri dari atasan dan bawahan yg bersatu, biasanya dari sutera)
5. Sarasi
6. Kimono
7. Obi










Info:
Kyoraku-Tei (artinya: bridge and joy)
Coredo Muromachi 3, 3 Floor
1-5-5 Nihonbashi Muromachi, Chuo-ku, Tokyo
Nearest stations: Tokyo Metro Hanzomon Line/Ginza Line, Mitsukoshimae Station, exit A4; JR Spbu Line Rapid, Shin-Nihonbashi Station, direct access.

Reservation:
Nihonbashi Information Center:
Coredo Muromachi B1
2-2-1 Nihonbashi Muromachi, Chuo-ku, Tokyo
Tel-+81-3-3242-0010
 Open: 10.00-21.00  
www.facebook.com/nihonbashi.information


(L-R) Noriko Ikeda, Hanako, Emi      


 photos: RHY
                                                                                






Saturday, 28 February 2015

Tanpa Kembang Api


Rahmayanti Helmi Yanuariadi.

Spektakuler, meriah, gegap-gempita!!  Itu kemeriahan malam pergantian tahun yang terbayang, ketika baru setahun menginjakkan kaki di Jepang. Ya, kami ingin melihat pesta kembang api di akhir tahun. Pagi-pagi di penghujung tahun  itu rencana disusun, antara lain melihat kemeriahan malam pergantian tahun di pinggir laut Odaiba, Tokyo. Ini juga jujur, merasa pasti, bakal ada kemeriahan di kawasan Odaiba.
Jika referensi melihat pesta kembang api di Jepang memang benar spektakuler, itu benar adanya. Kebetulan yang pertama kali dilihat di Jepang adalah pesta kembang api yang disebut hanabi pada setiap musim panas,  selalu berlangsung sangat spektakuler. Itulah gempita kembang api yang jauh sekali lebih hebat daripada yang ada di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, satu-satunya yang paling top di Indonesia, yang pernah saya lihat ketika masih di Indonesia.
Seperti halnya orang-orang yang baru melihat negara Jepang, kemungkinan besar banyak yang terkagum-kagum. Sayapun. Tentu saja, Jepang negara tetangga yang sedikit agak jauh, hanya tujuh jam terbang (agak lebih lama ketimbang naik mobil Jakarta-Yogyakarta yang bisa menghabiskan waktu 6 jam) itu, kita pahami sebagai negara yang apa-apanya serba lebih majulah. Ya, wajarlah kalau membayangkan seperti apa sih acara malam tahun baru di sini. Kali ini ingin melihat langsung, live! Buat pengetahuan, semua itu perlu dilihat.
Jadi serombongan kami sekeluarga dan ditambah tamu keluarga yang datang dari Indonesia berlibur ke Jepang, bersemangat untuk berjalan-jalan di akhir tahun, tepat 31 Desember 2008 itu. Cuaca musim dingin yang tidak bersahabat tidak lagi menjadi kendala, karena seperti tidak mau kehilangan momen malam itu. Hari itu beberapa tempat wisata kami jelajahi. Kami sekeluarga yang baru setahun menetap di Tokyo ini menjadi  tour guide bagi tamu yang datang menginap di rumah kami. Pantai Odaiba menjadi objek terakhir yang dikunjungi sekalian sampai tengah malam nanti.
            Selain pantai, di Odaiba juga ada beberapa departement store, dan patung Liberty tiruan seperti di New York, Amerika.  Hingga toko-toko tutup, kami tetap berada di sana menunggu tengah malam. Pokoknya, sok tahu aja, dan karena sengaja ingin tahu apa sih yang bakal terjadi malam itu, jadi memang tidak berinisiatif untuk bertanya. Kami jelajahi spot-spot yang biasa banyak orang berdiri-diri, karena biasanya ada “street performance” seperti pertunjukan musik atau permainan sulap.
            Lho, lama-lama kok tempat ini jadi sepi, sih. Ini orang-orang pada kemana? Kami tetap bergeming, bertahan di sana meski dingiiinnn sekali, karena ingin menunggu jam 24.00. Keadaan di sana gelap saja. Ada sedikit pencahayaan dari tiang-tiang lampu-lampu di pelataran luas yang menghadap ke laut.
            Terus saja menelusuri jalan-jalan setapak di sekitar situ, ke arah cahaya. Tapi benar-benar penasaran, masih berharap ada keajaiban cahaya yang tiba-tiba menyemburat memancar, atau bunyi petasan.
Pasti Anda bertanya-tanya, kenapa tidak bertanya saja, sih, sebelum datang ke sana. Ya, jawabnya, sebenarnya datang ke Odaiba itu sebagai warga baru di negara itu yang ingin mengenal lebih dekat negeri yang menjadi tempat tinggalnya sejak setahun itu, tepatnya ingin tahu seperti apa keramaian sehari menjelang tanggal 1 Januari 2009 itu.
(Kalau ingat-ingat kisah hari itu jadi geli sendiri). Sekarang resmi saya katakan (sambil tertawa lebar) TERNYATA tidak ada apa-apa, tidak ada kembang api spektakuler  di tengah malam pergantian hari itu. Dan cukup tergelak karena memang ada  kembang api atau petasan, tapi seuplik (sedikit saja) “Crap, crap..” dari kejauhan. Terus hening. Hahahaha…Mungkin itu dari pengunjung  seperti kami yang membawa kembang api untuk dinyalakan sendiri.
  Hanya, tepat jam 00.00 itu memang ada sedikit cercahan lampu lighting dari beberapa bangunan di situ untuk menandai lembar kalendar sudah berganti ke kalender baru. Dan kami tetap berjalan mencari-cari lagi siapa tahu ada kejutan lain, hingga kemudian menemukan  cahaya dari sekelompok meja yang ternyata menjual aneka barang dari program TV shopping seperti jam tangan, dan aksesori. Lumayan, ada juga hiburan yang bisa dilihat, ha ha ha…dan memang ada segelintir orang di sana, yang mungkin iseng jalan-jalan juga di Odaiba. Tapi, bahwa ada bazaar kecil di tengah malam itu juga sesuatu penemuan juga, kan.
Dengan pengalaman sok tahu ini jadi belajar, bahwa cara setiap bangsa, setiap budaya bangsa memberikan arti kepada tahun baru itu berbeda-beda. Saya tidak terlalu bercerita selengkapnya bagaimana bangsa Jepang menandai Tahun Baru itu sendiri. Melainkan hanya menceritakan yang saya lihat di sekitar saja.

Pengamatan tahun ke tahun
            Tahun-tahun berikutnya, seperti juga selama ini, tak ada acara khusus bagi saya. Namun di Jepang sini, tiap tahun jika ada waktu dan kesempatan saya melihat sendiri dari dekat, tepatnya karena  “ingin tahu” kultural Jepang soal tahun baru ini. Ini bagian dari proyek “pengamatan” langsung, tak cuma tahu dari cerita, atau baca-baca di internet, atau dari televisi.
Masih soal malam tahun baru itu, kebetulan di depan apartemen tempat tinggal saya ada restoran udon soba yang bergaya tradisional. Pada tanggal 31 Desember yang disebut omisoka itu, orang Jepang punya tradisi makan Soba (sejenis mie yang terbuat dari tepung soba), dinamai toshikoshi soba.  Nah, tepat di depan pintu resto, mereka sengaja memasang meja untuk menjual soba mentah untuk di bawa pulang, tanpa harus masuk ke restoran.
Lalu kenapa mereka tidak berpesta kembang-api seperti kebanyakan terjadi di kota-kota besar dunia? Selain mereka pergi ke rumah orangtua, menjelang tengah malam itu ternyata mereka pergi ke kuil Buddha, berderet menanti giliran memukul genta, disebut joya no kane. Ini tradisi memukul genta sebanyak 108 kali sebagai perlambang mengenyahkan108 macam nafsu jahat manusia. Dari rumah tidak terdengar suara genta itu, karena kuilnya agak jauh. Tapi  tepat pukul 00.00 itu dari rumah terdengar suara sirine kapal di pelabuhan, karena apartemen saya terletak persis di pinggir Yokohama Bay.
Saat menuliskan pengalaman ini adalah tahun 2015. Malam tahun baru di beberapa tahun sebelumnya,  saya tinggal di rumah saja atau sedang berada di Indonesia. Tapi tahun 2013 ke 2014 lalu kembali ingin tahu, ada keramaian apa di Yokohama menjelang tahun baru. Tanpa rencana matang, on the spot saja, sengaja mendatangi Yamashita koen (taman Yamashita) di bilangan Naka-ku, dekat sekali dengan rumah. Seperti yang dialami di Odaiba, di Yamashita koen inipun sama, gelap gulita juga, TERNYATA. Ha ha ha ha lagi.  Namun ada yang berbeda.
Kali ini terlihat cahaya dari lampu senter besar di tengah taman. Oo, ternyata ada sekelompok bapak dan ibu Jepang manula yang sedang bernyanyi diiringi keyboard. Mereka menyanyikan lagu-lagu, termasuk lagu kota Yokohama, ada juga lagu anak-anak yang diketahui orang pada umumnya, sehingga yang menonton mengelilingi mereka bisa ikut bernyanyi.
Sesaat kemudian sampai kepada pukul 00.00, tepat pergantian hari. Dan seperti yang sudah diceritakan tadi terdengar suara sirine kapal-kapal yang berlabuh. Karena saya berada di situ, suara terdengar keras sekali. Dan kali ini melihat sendiri dari kejauhan di pusat kota Yokohama yang tidak jauh dari taman itu, gedung-gedung pencakar langit Landmark, gedung-gedung di kawasan Minatomirai, serta jembatan besar Yokohama Bay Bridge memancarkan pencahayaan (illumination), yang hanya   dalam sekian detik terang benderang, dan indah. Setelah itu gelap kembali, dan kota tidur lagi. Setelah itu, saya pulang ke rumah. Tidak tahu lagi apa acara mereka setelah jam 24 itu.
 Nah, pergantian tahun 2014 ke 2015, saya ingin membuktikan cerita lain –kenapa negara Jepang ini dinamai Negeri Matahari Terbit. Sementara alasan, karena negara ini berada di sebelah timur jika dilihat dari negeri Cina. Di Cina, posisi negara Jepang itu seperti posisi di mana matahari muncul di pagi hari. Saat itu Kekaisaran Cina memanggil Jepang dengan “Nihon” atau “Nippon” yang artinya “asalnya matahari”. Alasan lain, penting bagi orang Jepang melihat matahari terbit yang pertama kali muncul di awal tahun, disebut hatsu hinode.
“Semua yang pertama penting bagi orang Jepang,” begitu kata seorang kawan Jepang, seperti misalnya hatsu yume, artinya mimpi/keinginan yang pertama atau first dream penting bagi orang di Jepang di awal tahun baru.
Pagi-pagi seusai sholat Subuh, sebelum matahari terbit, segera meluncur ke Osanbashi, hanya 15 menit jika bersepeda dari rumah, pelabuhan di dekat Yamashita koen tadi. Sesampai di sana belum banyak orang tiba di pelataran kayu pelabuhan di Teluk Yokohama itu. Namun lambat laun pelataran yang tertata dari kayu Brazil itu dipenuhi orang yang ingin melihat matahari terbit, hari itu matahari terbit diperkirakan jam 6.50. Nah, selang beberapa menit kemudian, dek pelabuhan itu benar-benar penuh orang, entah datang dari mana tadi mereka datang berduyun-duyun --perlu observasi lagi tahun depan. Mereka segera mencari tempat berjejer di pinggir pagar dek yang langsung berbatasan dengan air laut. Mereka memilih tempat itu untuk mudah mengambil foto matahari terbit yang bakal muncul di hadapannya.
Sayang hari itu mendung, sinar matahari yang terbit seolah muncul dari dalam ke permukaan laut di kejauhan sana, tertutup awan kelabu. Mereka tetap menanti, siapa tahu angin meniup awan mendung itu hingga menepi dan membiarkan sinar matahari memancar tajam tanpa dihalangi gumpalan tebal awan gelap. Tapi, menunggu dan menunggu awan tak kunjung beranjak dari tempatnya…
Ini serba ternyata. Ternyata perayaan tahun baru sesungguhnya bagi mereka adalah tanggal sejak1 Januari hingga 3 Januari. Kantor Pemerintah dan swasta  sudah libur sejak 29 Desember hingga 3 Januari. Tanggal 1 Januari disebut sebagai hari pertama (ganjitsu); perayaan tahun baru hingga tiga hari disebut sanganichi (tiga hari). Ternyata ada juga yang merayakan tahun baru hingga 20 hari sampai tanggal 20 Januari (hatsuka shogatsu), setelah 20 hari hiasan tahun baru sudah harus disimpan. Di wilayah Kansai (Osaka dan sekitarnya) tahun baru hingga 20 Januari itu disebut dengan honeshogatsu, saat mana ikan makanan pesta baru habis dimakan sampai ke tulang-tulangnya.***



Foto: Rahmayanti Helmi Yanuariadi  (Melihat matahari  terbit di Osanbashi, Yokohama).

Thursday, 26 February 2015

Tesselaar Tulip Festival



                   Ini bukan di Holland, tapi di Lilydale tak jauh dari pusat kota Melbourne.  

               Dari Southern Cross Station di Melbourne, mengendarai  kereta api menuju ke Lilydale, stasiun terdekat Taman Tulip Tesselaar, disambung dengan naik bis langsung ke tujuan. Hamparan warna-warni tulip yang memanjakan mata yang memandang. Ini adalah suguhan alam yang sempat terekam kamera, spesial di musim semi, 29 September 2014. Ini juga kenangan manis dari bumi yang banyak memberikan pesan hidup. 

                   
                     Perhatikan helai-helai kelopaknya, tidak ada yang sama. Sebagai penggambaran dari bahasa Tuhan Sang Pencipta, bahwa Dia menciptakan sesuatu yang baik dan yang buruk,bersamaan. Baik dan buruk itu tergantung kepada tangan kita yang merawatnya. Subhanallah.
     Di taman yang tak terlalu luas itu, tersaji miniatur suasana negeri kincir angin Belanda. Poffertjes panas bertabur gula halus langsung dari pinggan bakarnya dan segelas cafelate cukup mampu mengusir sepoi dingin angin musim semi.***


Mila and her mom, Rini.

Lovely Dhea, sholihah chan, my daughter.


Henny, my friend and Dhika, her son.


The team and I.










@RHY, Photo: RHY (Tesselaar)

HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...