Saturday, 28 February 2015

Tanpa Kembang Api


Rahmayanti Helmi Yanuariadi.

Spektakuler, meriah, gegap-gempita!!  Itu kemeriahan malam pergantian tahun yang terbayang, ketika baru setahun menginjakkan kaki di Jepang. Ya, kami ingin melihat pesta kembang api di akhir tahun. Pagi-pagi di penghujung tahun  itu rencana disusun, antara lain melihat kemeriahan malam pergantian tahun di pinggir laut Odaiba, Tokyo. Ini juga jujur, merasa pasti, bakal ada kemeriahan di kawasan Odaiba.
Jika referensi melihat pesta kembang api di Jepang memang benar spektakuler, itu benar adanya. Kebetulan yang pertama kali dilihat di Jepang adalah pesta kembang api yang disebut hanabi pada setiap musim panas,  selalu berlangsung sangat spektakuler. Itulah gempita kembang api yang jauh sekali lebih hebat daripada yang ada di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, satu-satunya yang paling top di Indonesia, yang pernah saya lihat ketika masih di Indonesia.
Seperti halnya orang-orang yang baru melihat negara Jepang, kemungkinan besar banyak yang terkagum-kagum. Sayapun. Tentu saja, Jepang negara tetangga yang sedikit agak jauh, hanya tujuh jam terbang (agak lebih lama ketimbang naik mobil Jakarta-Yogyakarta yang bisa menghabiskan waktu 6 jam) itu, kita pahami sebagai negara yang apa-apanya serba lebih majulah. Ya, wajarlah kalau membayangkan seperti apa sih acara malam tahun baru di sini. Kali ini ingin melihat langsung, live! Buat pengetahuan, semua itu perlu dilihat.
Jadi serombongan kami sekeluarga dan ditambah tamu keluarga yang datang dari Indonesia berlibur ke Jepang, bersemangat untuk berjalan-jalan di akhir tahun, tepat 31 Desember 2008 itu. Cuaca musim dingin yang tidak bersahabat tidak lagi menjadi kendala, karena seperti tidak mau kehilangan momen malam itu. Hari itu beberapa tempat wisata kami jelajahi. Kami sekeluarga yang baru setahun menetap di Tokyo ini menjadi  tour guide bagi tamu yang datang menginap di rumah kami. Pantai Odaiba menjadi objek terakhir yang dikunjungi sekalian sampai tengah malam nanti.
            Selain pantai, di Odaiba juga ada beberapa departement store, dan patung Liberty tiruan seperti di New York, Amerika.  Hingga toko-toko tutup, kami tetap berada di sana menunggu tengah malam. Pokoknya, sok tahu aja, dan karena sengaja ingin tahu apa sih yang bakal terjadi malam itu, jadi memang tidak berinisiatif untuk bertanya. Kami jelajahi spot-spot yang biasa banyak orang berdiri-diri, karena biasanya ada “street performance” seperti pertunjukan musik atau permainan sulap.
            Lho, lama-lama kok tempat ini jadi sepi, sih. Ini orang-orang pada kemana? Kami tetap bergeming, bertahan di sana meski dingiiinnn sekali, karena ingin menunggu jam 24.00. Keadaan di sana gelap saja. Ada sedikit pencahayaan dari tiang-tiang lampu-lampu di pelataran luas yang menghadap ke laut.
            Terus saja menelusuri jalan-jalan setapak di sekitar situ, ke arah cahaya. Tapi benar-benar penasaran, masih berharap ada keajaiban cahaya yang tiba-tiba menyemburat memancar, atau bunyi petasan.
Pasti Anda bertanya-tanya, kenapa tidak bertanya saja, sih, sebelum datang ke sana. Ya, jawabnya, sebenarnya datang ke Odaiba itu sebagai warga baru di negara itu yang ingin mengenal lebih dekat negeri yang menjadi tempat tinggalnya sejak setahun itu, tepatnya ingin tahu seperti apa keramaian sehari menjelang tanggal 1 Januari 2009 itu.
(Kalau ingat-ingat kisah hari itu jadi geli sendiri). Sekarang resmi saya katakan (sambil tertawa lebar) TERNYATA tidak ada apa-apa, tidak ada kembang api spektakuler  di tengah malam pergantian hari itu. Dan cukup tergelak karena memang ada  kembang api atau petasan, tapi seuplik (sedikit saja) “Crap, crap..” dari kejauhan. Terus hening. Hahahaha…Mungkin itu dari pengunjung  seperti kami yang membawa kembang api untuk dinyalakan sendiri.
  Hanya, tepat jam 00.00 itu memang ada sedikit cercahan lampu lighting dari beberapa bangunan di situ untuk menandai lembar kalendar sudah berganti ke kalender baru. Dan kami tetap berjalan mencari-cari lagi siapa tahu ada kejutan lain, hingga kemudian menemukan  cahaya dari sekelompok meja yang ternyata menjual aneka barang dari program TV shopping seperti jam tangan, dan aksesori. Lumayan, ada juga hiburan yang bisa dilihat, ha ha ha…dan memang ada segelintir orang di sana, yang mungkin iseng jalan-jalan juga di Odaiba. Tapi, bahwa ada bazaar kecil di tengah malam itu juga sesuatu penemuan juga, kan.
Dengan pengalaman sok tahu ini jadi belajar, bahwa cara setiap bangsa, setiap budaya bangsa memberikan arti kepada tahun baru itu berbeda-beda. Saya tidak terlalu bercerita selengkapnya bagaimana bangsa Jepang menandai Tahun Baru itu sendiri. Melainkan hanya menceritakan yang saya lihat di sekitar saja.

Pengamatan tahun ke tahun
            Tahun-tahun berikutnya, seperti juga selama ini, tak ada acara khusus bagi saya. Namun di Jepang sini, tiap tahun jika ada waktu dan kesempatan saya melihat sendiri dari dekat, tepatnya karena  “ingin tahu” kultural Jepang soal tahun baru ini. Ini bagian dari proyek “pengamatan” langsung, tak cuma tahu dari cerita, atau baca-baca di internet, atau dari televisi.
Masih soal malam tahun baru itu, kebetulan di depan apartemen tempat tinggal saya ada restoran udon soba yang bergaya tradisional. Pada tanggal 31 Desember yang disebut omisoka itu, orang Jepang punya tradisi makan Soba (sejenis mie yang terbuat dari tepung soba), dinamai toshikoshi soba.  Nah, tepat di depan pintu resto, mereka sengaja memasang meja untuk menjual soba mentah untuk di bawa pulang, tanpa harus masuk ke restoran.
Lalu kenapa mereka tidak berpesta kembang-api seperti kebanyakan terjadi di kota-kota besar dunia? Selain mereka pergi ke rumah orangtua, menjelang tengah malam itu ternyata mereka pergi ke kuil Buddha, berderet menanti giliran memukul genta, disebut joya no kane. Ini tradisi memukul genta sebanyak 108 kali sebagai perlambang mengenyahkan108 macam nafsu jahat manusia. Dari rumah tidak terdengar suara genta itu, karena kuilnya agak jauh. Tapi  tepat pukul 00.00 itu dari rumah terdengar suara sirine kapal di pelabuhan, karena apartemen saya terletak persis di pinggir Yokohama Bay.
Saat menuliskan pengalaman ini adalah tahun 2015. Malam tahun baru di beberapa tahun sebelumnya,  saya tinggal di rumah saja atau sedang berada di Indonesia. Tapi tahun 2013 ke 2014 lalu kembali ingin tahu, ada keramaian apa di Yokohama menjelang tahun baru. Tanpa rencana matang, on the spot saja, sengaja mendatangi Yamashita koen (taman Yamashita) di bilangan Naka-ku, dekat sekali dengan rumah. Seperti yang dialami di Odaiba, di Yamashita koen inipun sama, gelap gulita juga, TERNYATA. Ha ha ha ha lagi.  Namun ada yang berbeda.
Kali ini terlihat cahaya dari lampu senter besar di tengah taman. Oo, ternyata ada sekelompok bapak dan ibu Jepang manula yang sedang bernyanyi diiringi keyboard. Mereka menyanyikan lagu-lagu, termasuk lagu kota Yokohama, ada juga lagu anak-anak yang diketahui orang pada umumnya, sehingga yang menonton mengelilingi mereka bisa ikut bernyanyi.
Sesaat kemudian sampai kepada pukul 00.00, tepat pergantian hari. Dan seperti yang sudah diceritakan tadi terdengar suara sirine kapal-kapal yang berlabuh. Karena saya berada di situ, suara terdengar keras sekali. Dan kali ini melihat sendiri dari kejauhan di pusat kota Yokohama yang tidak jauh dari taman itu, gedung-gedung pencakar langit Landmark, gedung-gedung di kawasan Minatomirai, serta jembatan besar Yokohama Bay Bridge memancarkan pencahayaan (illumination), yang hanya   dalam sekian detik terang benderang, dan indah. Setelah itu gelap kembali, dan kota tidur lagi. Setelah itu, saya pulang ke rumah. Tidak tahu lagi apa acara mereka setelah jam 24 itu.
 Nah, pergantian tahun 2014 ke 2015, saya ingin membuktikan cerita lain –kenapa negara Jepang ini dinamai Negeri Matahari Terbit. Sementara alasan, karena negara ini berada di sebelah timur jika dilihat dari negeri Cina. Di Cina, posisi negara Jepang itu seperti posisi di mana matahari muncul di pagi hari. Saat itu Kekaisaran Cina memanggil Jepang dengan “Nihon” atau “Nippon” yang artinya “asalnya matahari”. Alasan lain, penting bagi orang Jepang melihat matahari terbit yang pertama kali muncul di awal tahun, disebut hatsu hinode.
“Semua yang pertama penting bagi orang Jepang,” begitu kata seorang kawan Jepang, seperti misalnya hatsu yume, artinya mimpi/keinginan yang pertama atau first dream penting bagi orang di Jepang di awal tahun baru.
Pagi-pagi seusai sholat Subuh, sebelum matahari terbit, segera meluncur ke Osanbashi, hanya 15 menit jika bersepeda dari rumah, pelabuhan di dekat Yamashita koen tadi. Sesampai di sana belum banyak orang tiba di pelataran kayu pelabuhan di Teluk Yokohama itu. Namun lambat laun pelataran yang tertata dari kayu Brazil itu dipenuhi orang yang ingin melihat matahari terbit, hari itu matahari terbit diperkirakan jam 6.50. Nah, selang beberapa menit kemudian, dek pelabuhan itu benar-benar penuh orang, entah datang dari mana tadi mereka datang berduyun-duyun --perlu observasi lagi tahun depan. Mereka segera mencari tempat berjejer di pinggir pagar dek yang langsung berbatasan dengan air laut. Mereka memilih tempat itu untuk mudah mengambil foto matahari terbit yang bakal muncul di hadapannya.
Sayang hari itu mendung, sinar matahari yang terbit seolah muncul dari dalam ke permukaan laut di kejauhan sana, tertutup awan kelabu. Mereka tetap menanti, siapa tahu angin meniup awan mendung itu hingga menepi dan membiarkan sinar matahari memancar tajam tanpa dihalangi gumpalan tebal awan gelap. Tapi, menunggu dan menunggu awan tak kunjung beranjak dari tempatnya…
Ini serba ternyata. Ternyata perayaan tahun baru sesungguhnya bagi mereka adalah tanggal sejak1 Januari hingga 3 Januari. Kantor Pemerintah dan swasta  sudah libur sejak 29 Desember hingga 3 Januari. Tanggal 1 Januari disebut sebagai hari pertama (ganjitsu); perayaan tahun baru hingga tiga hari disebut sanganichi (tiga hari). Ternyata ada juga yang merayakan tahun baru hingga 20 hari sampai tanggal 20 Januari (hatsuka shogatsu), setelah 20 hari hiasan tahun baru sudah harus disimpan. Di wilayah Kansai (Osaka dan sekitarnya) tahun baru hingga 20 Januari itu disebut dengan honeshogatsu, saat mana ikan makanan pesta baru habis dimakan sampai ke tulang-tulangnya.***



Foto: Rahmayanti Helmi Yanuariadi  (Melihat matahari  terbit di Osanbashi, Yokohama).

No comments:

Post a Comment

HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...