Wednesday, 26 June 2013

Trade with REMARKABLE INDONESIA (1)



      Baru pertama kali ini Hengki Kawilarang mencoba menjajaki pasar Jepang. Mengikuti kesempatan pameran dagang bertajuk “Remarkable Indonesia” di Japan Fashion Week di tahun 2012 yang diperuntukkan bagi pembeli whole sale, ia menampilkan  koleksi busana couture nya. “Dari pengalaman mengikuti pameran ini, busana couture saya disarankan mengikuti eksibisi di pertokoan/department store (event in store), agar bisa mendekati pasar /konsumen yang tepat.”  Dalam pameran yang berupa show case ini, perlu ditampilkan fashion show seperti yang dilakukan  negara peserta lainnya Filipina, Cina, dan India.


Hengki Kawilarang

Menurut Kiki, begitu ia biasa akrab dipanggil, pemerintah  perlu memfasilitasi penyelenggaraan pameran para designer Indonesia ke beberapa negara dengan lebih rutin, lebih terorganisasi, untuk benar-benar memperhatikan antara apa tujuan acaranya  dan siapa tepatnya sasaran konsumennya. Intinya mengabarkan kepada dunia bahwa ini ada karya busana yang bagus dan sesuai pasar.
Tentu perlu diatur seperti apa pengelolaan biaya operasional. "Bisa saja sekian persen dari harga pakaian dialokasikan untuk biaya operasional," katanya.
Ia berharap kepada pemerintah, "Kalau saya bisa mempekerjakan orang-orang yang kebetulan menganggur sampai mereka memiliki penghasilan, mestinya Pemerintah tentu bisa berbuat lebih lagi."
         
Dalam sebuah pameran fashion, perlu mengenal siapa pasarnya apakah whole sale buyer  atau  personal shopper --yang tidak hanya untuk urusan pesan-order.
Hengki Kawilarang mempelajari bahwa di dalam eksibisi whole sale di Tokyo saat itu, perlu memperkenalkan busana dengan motif Indonesia, dikerjakan cepat dan harga murah, bisa dipesan  ribuan potong. Soal harga misalnya, jika dipasar dipasang dengan harga 25.000 Yen, bisa ditawar 30%, maka jika misalnya dipesan 100 potong, bisa dihargai lebih murah lagi, akan bisa bersaing di pasarJepang.
Sebenarnya dalam berbagai kesempatan pameran dagang fashion, orang Jepang, Turki, Belanda mengakui workmanship Indonesia memiliki nilai tinggi.
Karya Hengki di eksibisi  Remarkable Indonesia diminati whole sale buyer  dan retailer. Gambarannya mungkin di pasaran dihargai 30.000 yen. Harga yang pantas.

Tidak muluk jika ia berharap suatu hari galeri atau butik Indonesia bisa ditemui  di sepuluh kota besar dunia yang memiliki perwakilan negara Indonesia; yang lokasinya berada di mall yang  menjual brand dunia. “Di dalam butik itu para desainer busana Indonesia bisa menjual produk Indonesia dari fashion hingga aksesoris.”

Obrolan dengan orang-orang di dunia fashion:
*    “Saya mau bikin toko yang menjual produk Indonesia, mau pinjam uang ke bank. Bank langsung bertanya: punya jaminan apa? Atau bank langsung bertanya: bakal laku ga sih tokonya nanti?”  *Ini bank saja sudah ragu-ragu, repot, kan

*    “Ritsluiting merk Ykk dibuat di Indonesia, tapi kita sendiri mau cari Ykk engga ada. Mau bikin baju, tapi kancingnya  dari luar. Kebanyakan bahan-bahan untuk membuat baju datang dari luar: kancing, payet dari Guangzhou, bea cukai mahal, harga jadi mahal. Seharusnya Pemerintah mempermudah orang-orang kreatif Indonesia seperti para desainer ini untuk membuat komponen harga produk jadinya bisa bersaing. Pada gilirannya nanti kan bisa mengurangi pengangguran, karena di industri pakaian jadi ini melibatkan tenaga padat karya. Urusan perut para pengangguran bisa teratasi, kriminalitas pun jadi berkurang, kan

*    Ada pertanyaan: bisakah jika ide membuat galeri Indonesia di kota-kota besar dunia  difasilitasi Pemerintah, karena berkaitan antara lain dengan pengapalannya ditujukan ke alamat penerima (perwakilan negara), hingga bisa terbantukan, atau mungkin ongkos pengirimannya bisa lebih murah?


Event: Japan Fashion Week
When: 18-20 Juli 2012.
Location: Tokyo Big Sight

*Rahmayanti Helmi Yanuariadi

Sunday, 23 June 2013

Rahmayanti H Y: OBI BATIK di DENENCHOFU STA

Rahmayanti H Y: OBI BATIK di DENENCHOFU STA:  Obi Jepang dan kain Batik        Sayang aku tidak bawa kamera. Suatu hari di penghujung Oktober 2008, tepatnya tanggal 30,  di stas...

OBI BATIK di DENENCHOFU STA


 Obi Jepang dan kain Batik
       Sayang aku tidak bawa kamera. Suatu hari di penghujung Oktober 2008, tepatnya tanggal 30,  di stasiun kereta Denenchofu-Tokyo...

     Ibu tua itu mengenakan obi yang dari jauh aku tahu itu batik. Motifnya Garuda. Kudekati, memang betul batik. Batik Jogja (warna shogan --khas Jogja: dasar putih kekuningan (mungkin karena sudah tua, dengan gambar berwarna coklat). Aku yakin. Tapi dasar karena ingin berlatih Nihonggo (bahasa Jepang)—waktu itu aku baru saja memulai belajar bahasa Jepang, aku tanya juga ibu itu:


Emi: Sumimasen, kono obi wa batik desuka? (Ya iya lah. Memang batik, kataku dalam hati).

Dan ibu itu menjawab: "Haik, furui batik desu, Jawa no batik desu." (ya batik tua, batik Jawa).

Emi: Kore wa nagai selendang desuka? (Yang dipakai jadi obi ini selendang yang panjang ya?).
Ibu: Haik, nagai...(ya, panjang..).

Emi: Kore wa Kimono ka Yukata ka? (sambil menunjuk baju yang ia kenakan).
Dalam hati aku mengatakan itu kimono (lagi-lagi latihan Nihongo). Aku sudah tahu kalau itu kimono, sebab ada kerah putihnya yang menyembul dari dalam, dan obinya besar menempel di belakang --sudah pasti itu kimono, bukan yukata (pakaian sehari-hari/kasual perempuan Jepang untuk musim panas, yang biasa dikenakan kalau ada acara kultural biasa, antara lain matsuri (festival), hanabi (pesta kembang api di musim panas).

Emi: Indonesia e ikimashitaka? (Sudah pergi ke Indonesia ?...)

Ibu: Haik,...


   Obrolan yang tidak sampai dua menit itu terhenti. Kereta jurusan Denenchofu-Shibuya sudah tiba. .. Arigatou gozaimashita ne...Aku harus segera masuk ke kereta untuk menuju ke sekolah bahasa Naganuma di Nanpedai-Shibuya.
Di kereta  aku berpikir,  menyayangkan, kenapa enggak nanya telepon ibu tua itu, biar bisa aku datangi...Batik yang dia pakai itu lho, aku pingin tahu bagaimana ia mendapatkan batik itu dulu... Mudah-mudahan bisa ketemu ibu itu lagi di stasiun kereta dekat rumahku...


Foto, teks: Rahmayanti Helmi Yanuariadi.#


MANAGEMEN SAMPAH

MANAGEMEN SAMPAH BERDAYA KOMERSIAL


Published in Sindo, 13 November 2012 p. 16. 
http://www.scraperone.com/koran/seputarindonesia_20121113.pdf


Hingga detik ini urusan sampah di Indonesia belum menggembirakan. Rasanya sudah cukup banyak melihat dan belajar dari pengalaman bangsa lain, terlebih dari pengalaman sendiri --banjir, got mampet gara-gara sampah, pasir pantai bertebar sampah, belum lagi bau, kotor. Gunung sampah semakin menjulang di TPA. Mencoba inovasi baru pengelolan sampah terjangkau menjadi penting!

Teks: Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Kontributor Sindo di Tokyo).


            Melihat kota-kota di Jepang yang bersih, bukan tanpa usaha. Satu contoh dalam kehidupan sehari-hari, di taman kota yang luas, sering tidak disediakan tempat pembuangan sampah umum untuk keindahan; kalaupun ada itu berupa tempat sampah ukuran biasa saja. Masyarakat Jepang yang gemar menghabiskan waktu di taman kota di hari libur untuk bermain, piknik membawa makanan, atau berbabeque, diminta atau tidak diminta selalu wajib membawa sampahnya masing-masing pulang; tidak mengotori atau memenuhi bak sampah yang kecil itu, sampai berserakan, misalnya. Itu dari sisi individu. Bisa begini karena bangsa ini belajar dari pengalaman berabad. Dari sistem pengolahan sampah, mereka memiliki managemen pengelolaan sampah yang canggih: pemilahan jenis sampah, dan sistem mendaur ulang.
Buat kita, satu persatu individu sangat bisa memutuskan untuk mengelola sampah dengan baik, tapi sayangnya itu hanya sebatas dinding rumah; tetap saja hasil akhirnya masih jauh dari sempurna, karena menjadi berantakan setelah membaur dengan masyarakat yang kesadaran dan pengetahuan soal sampah sangat “terserah gue” (baca: beragam). Tapi apakah ini karena mayoritas bangsa kita masih memikirkan bagaimana supaya tidak lapar? Apapun itu, tidak ada salahnya coba atasi, kita bisa lakukan kalau mau! Mau tak mau, tata jiwa dan tata infrastrukturnya.
Bagaimana menangani karakter sampah di Indonesia yang sudah ‘telanjur campur’ --tidak dipisah-pisah dalam pengelolannya? Inilah alasan kenapa sejumlah mahasiswa Indonesia memilih studi pengolahan sampah di Jepang, berharap pengelolaan sampah di tanah air bisa lebih baik. Bayu Indrawan, mahasiswa kandidat doktor dari Department of Environmental Science and Technology-Tokyo Institute of Technology-Jepang adalah salah seorangnya. Kegelisahan mengarahkannya kepada pencarian teknologi alternatif  yang sesuai kondisi sampah di Indonesia.Yaitu mengolah sampah yang awalnya tercampur menjadi produk bermanfaat yang homogen. Beruntung di Tokyo Institut of Technology, universitas riset terkemuka di Jepang tempat ia menjalani program doktoralnya, memperkenalkan teknologi hydrothermal bernama RRS (Resource Recycling System).
Cocok dengan karakter sampah campur Indonesia yang tak perlu pemisahan (80% bahan organik dan campuran plastik), RRS menggunakan gas bertekanan dan uap suhu tinggi (30 atm, 200°C). Cara ini lebih ramah lingkungan, relatif murah, teknologi lebih sederhana, sehingga komponen kandungan lokal bisa mendekati 90%. “Uang tidak perlu dibelanjakan ke negara lain,” jelasnya. Teknologi alternatif ini sudah diterapkan secara komersial di Jepang, antara lain di Hokkaido, Nagoya, dan Ichinomiya.
            Sampah campur perkotaan (Municipal Solid Waste/MSW) dan sampah pertanian dimasukkan ke reaktor, disusul memasukkan uap bertekanan tinggi dari boiler. Dengan blender (alat pelebur), sampah di dalam reaktor terurai dalam waktu 30-60 menit. Hasil sementara berupa lumpur. Pengeringan lumpur,  kering sendiri jika dibiarkan dua hari,  atau disemprot dengan uap panas dan hasilnya akan langsung kering --berupa bubuk menyerupai bubuk batubara.  “Karena hanya menggunakan uap bertekanan tinggi, maka tidak menghasilkan zat kimia berbahaya. Bau juga hilang, dan bakteri mati karena suhu tinggi.”
Hasil akhirnya bisa menjadi bahan penyubur tanah, bahan bakar padat (menyerupai batu bara), bagus untuk bahan bakar oven di industri crude palm oil, pabrik keramik, boiler (pemanasan untuk tenaga listrk), pabrik semen; dalam skala kecil bisa dijadikan briket seperti arang untuk memasak.
Riset Bayu menegaskan 20% dari hasil produk ini bila dicampur dengan 80% batubara yang digunakan pada pembakaran akan tidak mengubah karakteristik pembakaran di power plant boiler (boiler pembangkit listrik), pembakaran di pabrik semen, pabrik kertas, atau pabrik baja.  Nilai kalorinya sebanding dengan nilai kalori batu bara; kalorinya (kemampuan untuk membangkitkan panas) hampir sama dengan batu bara (5000-6000 kilo kalori atau kcal/kg). Produk akhir sampah ini mengandung sekira 5000-an kcal/kg tergantung karakterikstik sampah; misalnya sampah organik, sampah plastik jika dikeringkan bisa mengandung kalori tinggi.  “Uji kelayakan untuk hasil pengolahan yang mengandung air, gas, padatan tersebut sudah memenuhi standar aman,” kata Bayu.
Untuk kapasitas pengolahan sampah yang sama, dibandingkan dengan sistemincinerator misalnya,  investasi awal RRS  60% lebih murah dari cara incinerator (baca juga: “Pengelolaan Sampah selama ini…”); biaya operasional dan  pemeliharaan instalasi 55% lebih rendah, dan pula menghasilkan produk bermanfaat, antara lain sebagai alternatif bahan bakar pengganti batu bara. Batubara adalah non renewable energy yang lama-kelamaan habis, dan tidak ramah lingkungan. Hasil olahan sampah ini bisa mengurangi penggunaaan batubara. Dan produk ini relatif lebih bersih dibanding batubara, mengurangi dampak lingkungan yang dikeluarkan akibat pembakaran produk.
             Membutuhkan lahan sedikit, 200 ton/hari sampah cukup ditampung di lahan setengah hektar (0,5 ha), hasil produk tadi memiliki kepadatan tinggi.  Dari tumpukan sampah yang banyak menjadi tumpukan kecil lagi bermanfaat. Efisiensi teknologi pengolahan sampah ini tinggi, hanya membutuhkan energi di bawah 20% dari keluaran yang dihasilkan untuk menjalankan sistem pengolahan sampah. Jadi bisa memenuhi diri sendiri (self sustainable system) atau tidak perlu energi tambahan dari luar untuk menjalankannya.
            Contoh skala kecil di satu komplek perumahan; misal, satu orang membuang sampah 0,8-1kg/hari , satu perumahan 50 KK (Kepala Keluarga) x 3 orang =150 orang dengan sampah 150 kg /hari. Ini menggunakan reaktor pressure vessel 100 liter -200 liter kira-kira sebesar drum sampah.  Sangat simple.  Diproses 1-2 jam, cukup memerlukan sebidang tanah 3 x 4 meter persegi termasuk untuk proses pengeringan. Skala kecil ini bisa dipres, dikeringkan menjadi briket.
            Dari pengamatan Bayu, diketahui sampah kota Palembang 600 ton-800 ton/hari, kota Bantaeng di Sulawesi Selatan 50 ton/hari, dan Jambi 400 ton/hari. Ambilah kira-kira 400 ton/hari, memerlukan lahan pengolahan 1 hektar di TPA, nah dengan sistem RRS sebenarnya hanya memerlukan tempat 200 m2, dan tempat pengeringannya  cukup 800 m2 sekalian tempat pengeringan produk. Malah bisa lebih kecil lagi bila langsung dikeringkan dan tidak perlu ada tempat menyimpan stok kering.
            Teknologi hydrothermal dinamai RRS (Resource Recycling System) ini adalah paten dari Prof. Kunio Yoshikawa dari Tokyo Institute of Technology. Prof. Yoshikawa menemukan teknologi ini awal 2007, tahun 2009 dibuktikan di Hokkaido. Kini mencoba pasar di Indonesia, namun malah negara lain yang lebih dulu mengaplikasikan. Menurut Yoshikawa, pola investasi di Indonesia tidak berani memulai sesuatu, jika belum ada bukti. Bila ada bukti, baru mau (baca: ikut-ikutan) mengerjakan. Bila belum ada bukti , masih enggan. ”Jadi, susah jadi pioner, maunya jadi follower,” katanya.
Bayu, 26, kelahiran Palembang ini dalam studi pasca sarjananya memfokuskan bagaimana mengurangi efek negatif lingkungan dari produk keluaran dalam keadaan sampai kering, dan pengintegrasian penggunaan produk tersebut untuk dibakar bersama batubara. Rata-rata produk itu mengeluarkan kandungan chlorine di atas 5000 ppm, dan ia berhasil  menurunkan dengan standar di bawah 3000 ppm --produk keluaran pertama dicuci dengan air, sehingga chlorine dapat dipisahkan dari produk, dan hasilnya menjadi produk bersih dan ramah lingkungan. Penelitiannya dilakukan di plant pengolahan sampah yang sudah dibuat oleh sensei Yoshikawa  secara komersial di Hokkaido, Nagoya, Shanghai (ada dua plantation), Mongolia (1 plant), Vietnam, Thailand, dan Srilanka sedang dikerjakan.
Yoshikawa membimbing 36 mahasiswa di seluruh dunia (mayoritas dari Cina dan Indonesia). Ada tiga kelompok mahasiswa yang belajar di bidang pengolahan sampah menjadi energi (waste to energy) dengan produk hasil pengolahan sampah dalam bentuk  energi gas, likuid, dan bahan bakar padat. Bayu memilih “padat” karena di  Indonesia paling  cocok untuk bisa diaplikasikan secara komersial. “Teknologi padat ini adalah teknologi unggulan dari lab ini yang bisa diaplikasikan secara komersial,” papar sarjana S1 elektro di Universitas Sriwijaya, S2 elektro Universitas Indonesia, dan S3 di Jepang ini
            Di Indonesia, karakter khas di lingkungan sampah, yaitu abang-abang petugas sampah di perumahan pun bisa dipekerjakan di plant RRS. Mereka bisa dipekerjakan untuk mengepres briket dari produk keluaran, memilah sampah besi dan glass yang tidak bisa dibakar.”
Produk keluaran berupa bahan bakar bubuk ini bisa sebagai pengganti batubara untuk berbagai aplikasi pembakaran (combustion). Jika dicampur batubara, tidak perlu memodifikasi tungku pembakaran yang sebelumnya sudah ada, tidak perlu pula mengganti boiler, dan lain-lain, karena karakteristik pembakarannya relatif tidak berubah.
Pun kalau 100% produk keluaran pengolahan sampah ini digunakan, bisa dibuatkan tungku pembakaran, boiller, dll, khusus untuk aplikasi tersebut. Hasil keluarannya bisa untuk listrik, ataupun bahan bakar padat untuk industri/pabrik. Sebagai bahan yang bisa menjadi pengganti batubara, bisa menurunkan biaya operasional. Sebagai briket saja, 100%  digunakan untuk kompor briket guna memasak di rumah tangga, maupun industri kecil.
Saat ini ia tengah memperkenalkan informasi teknologi ini ke berbagai negara di Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia. ”Termasuk juga cukup intensif memperkenalkan teknologi persampahan ini ke Kepala-kepala Daerah di Indonesia, dan mendapatkan respon cukup baik. Dibutuhkan komitmen tinggi dari Kepala Daerah untuk menyelesaikan masalah sampah perkotaan melalui aplikasi teknologi pengolahan sampah tersebut,” kata Bayu.  RRS punya kelebihan, ”Sangat jarang ada teknologi pengolahan sampah yang ekonomis, punya efisiensi tinggi, dan bisa dikomersialkan (karena produk hasilnya bisa dimanfaatkan/dijual untuk proses pembakaran di berbagai pabrik tadi), dan itu ada pada RRS.”  ¨

Pengelolaan Sampah selama ini…
Selama ini yang diterapkan di Indonesia adalah TPA (Tempat Pembuangan Akhir), karena masih memiliki lahan cukup luas. Idealnya TPA  menerapkan land filling (TPA dengan proses pengolahan: memiliki saluran pembuangan air/water waste treatment, penimbunan  di bawah tanah. Sayangnya, ini hanya ditumpuk aja (open dumping), seharusnya dibuat galian utk tempat sampah (land filling).
Sebagian kecil sampah diatasi dengan daur ulang plastik, besi , kertas yang masih bisa dimanfaatkan. Pemulung sebagai roda recycle mengambil sekira 5%-10%  saja dari sampah,  mengirimnya ke perusahaan daur ulang plastik, besi, kertas. Lagi-lagi sayangnya, perusahaan-perusahaan itu tidak terkoordinasi satu sama lain.
Di samping itu menerapkan pengolahan sampah jadi pupuk (sistemcomposting). Juga banyak dengan sistem incinerator (dibakar dengan1000°C menggunakan teknologi mahal). Sistem ini kabarnya di suatu kota di Jawa Barat (2009) ditolak masyarakat, karena relatif  tidak ramah lingkungan, karena membakar langsung sampah tersebut. Proses ini mengeluarkan dioksin (gas pencemar lingkungan), SOx (sulfur oksida), NOx (nitrogen oksida). Lagi pula, efisiensi pembakarannya rendah, hasilnya menjadi sampah basah, karena antara sampah organik, plastik, dan kayu bercampur.  Dengan dibakar, akan menghasilkan panas yang bisa diubah menjadi listrik. Di Indonesia, modelincinerator ini masih berskala kecil –seperti di kalangan industri, pabrik, rumah sakit--listriknya digunakan mereka sendiri. Di Jepang setiap kota/kelurahan/distrik memiliki incinerator. Dengan teknologi baru, efek samping dari pengolahan sampah tersebut bisa dikurangi, sayangnya teknologi ini terbilang mahal. Nah, biaya yang tinggi ini masih menjadi kendala di Indonesia.
Di Indonesia, sebagian juga menggunakan cara metan capture --menangkap gas metan (gas yang mencemari lingkungan yang bisa merusak ozon) di TPA. Gas tidak keluar ke alam, tapi ditangkap menjadi bahan bakar gas pembangkit listrik tenaga gas. Tapi ini hanya menangkap gas tanpa mengolah sampahnya, jadi benda berupa sampah itu masih tetap menumpuk. Contohnya di Palembang, Bantar Gebang-Jakarta --biasanya untuk proyek CDM (Clean Development Mechanism, bahwa siapa saja boleh membuat proposal untuk mengurangi dampak lingkungan yang dibiayai oleh negara-negara industri yang banyak mengeluarkan COx/pencemar lingkungan). Ini sejalan dengan Kyoto Protokol (perjanjian internasional yang mengikat negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca  yang menyebabkan menipisnya lapisan ozon) yang pada intinya mengurangi pencemaran lingkungan.¨

Friday, 21 June 2013

Tenun ULAP DOYO


Derit gerak alat tenun Ulap Doyo itu adalah suara kehidupan seorang ibu di wilayah Kutai Barat-Kalimantan Timur. Jemarinya piawai menyelusupkan dawai benang ke jejeran benang vertikal di alat tenun itu. Sambil tangan kirinya sesekali menarik tali yang terhubung ke ayunan tidur anaknya di sebelahnya manakala si kecil rewel atau terbangun dari tidurnya.

Lembar demi lembar tenun khas Dayak itu memang nyawa bagi ibu ini sekeluarga. Dikumpulkannya lembar-lembar rupiah atau terkadang dolar dari turis yang tertarik memiliki tenun Dayak ini, untuk membeli susu anaknya, atau membeli baju bagus untuk dirinya pergi ke undangan 'selamatan' (kondangan) kerabat - handai taulannya.

Pagi-pagi, sudah menyusuri jalan kampung tanah berbatu mencari daun Doyo untuk dijadikannya benang. Daun yang berbentuk seperti daun tunas kelapa yang menyembul di antara semak-semak di hutan. (Atau jika tak sempat mengolah serat daun ini menjadi benang karena banyak pesanan, ia membeli benang yang sudah dibuat orang lain).
Mengerik serat daun Doyo.


Dengan lincah tangannya mengerik serat hijau daun dalam rendaman air sungai, hingga memperoleh lapisan tembus pandang dari daun. Selanjutnya serat Doyo ini akan menjadi benang. Dari sini kehidupannya berlanjut. . .©
Dari sini kehidupannya berlanjut...

By: Rahmayanti Helmi Yanuariadi (small research-2006).

Thursday, 20 June 2013

Colorful armchair

Vintage and pop. #Vintage #antique


CHICKEN PORRIDGE

Prepare rice porridge in a bowl, add small pieces of chicken strips, hard boil egg. Additional: add fresh bean sprout. Sprinkle with chopped spring onion, fried chopped shallot. And pour hot 'Soto Banjar' soup. Garnish with mint leaves.
 
Soto Banjar: spicy chicken soup

Wednesday, 19 June 2013

AVOCADO SPAGHETTI

Avocado Spaghetti --Learnt from Paula, our friend from Anchorage, Alaska.  After a long 14 years, we finally had the chance to visit Paula and Peter in Anchorage in  May 2013. They hosted a dinner for us with some  friends of theirs. Among the many menus,  I  was fond of the avocado spaghetti.

The avocado sauce is  easy to prepare. 

1. Mix avocado, garlic, olive oil, salt, and pepper in food processor.   
2. (optional) to add more variety of flavor, sauté shrimp with salt and pepper separately. 

3. Turn off heat. Mix together shrimp, avocado sauce and pasta.

Sunday, 16 June 2013

BANANA BOLLETJE

Inspired from takoyaki (Japanese fried octopus balls) making, I made "Banana Bolletje".


Saturday, 15 June 2013

Dinamika


Tawa, senyum, dada yang menyesak itu memang putaran kehidupan.
Supaya kita ingat Dia, anakku . . .

Kembali ke kota ini, seperti lengang.
Daun-daun yang lebat itu memang rontok, karena waktunya.
Kelihatan terang, karena ranting-rantingnya berdiri sendirian tanpa kibaran daun-daunnya yang biasanya menyelimuti.

Ia menyimpan energi
untuk kembali bersemi di waktunya nanti.

Seperti itu anakku,
Pohon itu tenang saja menanti saat-saatnya sendiri yang memang sudah diatur.

Tapi tentu saja pohon itu punya usaha untuk hidup di berbagai musim. Ia punya nyawa juga.
Tawa, senyum, dada yang menyesak itu memang putaran kehidupan.
Supaya kita ingat Dia, anakku . . .


20 December 2012. Yokohama.

YAKINKU

Semua yang kita Alami
Adalah tujuan Allah SWT
mengingatkan...
Tak ada kata terlambat 
Jika kita mau
Maka Dia akan menunjukkan
JalanNYA.


Yokohama, 19 January 2012

Sejuta Kabut Matahari

Sejuta kabut matahari
Turun setiap hari
Silih berganti
Tanda manusia harus upayakan
Hidup

Yokohama, Gasto cafe,
Honmoku, 30 October 2011. 2.48 pm

Friday, 14 June 2013

The Tuna Potato

      The original recipe that I learned  from ABC Cooking class was "Anchovy Potato".  At home I replaced the anchovies with tuna. Enjoy these Tuna-Potatoes for your lunch, make you quite satisfied.

🍞Rahmayanti.




Grand Canyon

Grand Canyon, the sky walk --Arizona. 
10 May 2013









Black n White




I found this black cup and saucer at Nakamachi street --the old Japanese district in Matsumoto city, Nagano Prefecture. The painted white rose on black color is so unique. ¥Seribu. 


Thursday, 13 June 2013

Fresh Air in AMBIENT AZUMINO

Udara pegunungan segera menyapu cepat penat seharian. Sedari pagi tadi sudah bergegas dari rumah di Yokohama ke stasiun kereta. Tujuan akhir pekan ini kali ini ke Nagano prefecture, tepatnya ke kota Matsumoto dan Azumino di kaki pegunungan. Kami mengunjungi Konekone House untuk membuat Soba dan makan siang (baca: Soba Time article), Daio Wasabi Farm, dan Wild Silk Center.

    Di sepanjang perjalanan penuh dengan pemandangan gunung sambung menyambung, yang sesekali masih diselimuti sedikit salju yang mulai meleleh di puncaknya, dari kejauhan menambah aksen warna putih di antara hamparan ladang anggur dan gandum di antara rumah-rumah warga.

Resort
Ofuro di luar memandang ke pegunungan
Ofuro di dalam ruangan.
    Setiba di Ambient Hotel dan resort di Izumigo, Azumino sore itu, hmm lega bisa sejenak beristirahat  meluruskan kaki. Ada waktu bebas dua jam, segera aku menikmati suasana sambil memejamkan mata di kursi pijat, dan menyodorkan telapak kaki dipijat si mesin pijat kaki. Fasilitas mandi berendam a la Jepang, pasti ada --rotenburo (ofuro di luar ruangan/ di alam), dan di dalam ruangan (uchiburo). Kemudian bersiap-siap untuk makan malam bersama teman-teman lainnya, 7.00 PM.


Beberapa menu yang tersaji.
      Dinner dimulai. Ikan Shinshyu Salmon nabe (menu hangat ikan salmon jenis Shinshyu yang banyak terdapat di Azumino) dan ikan Iwana Nanban, tersaji. Semua ada 10 jenis menu yang dikeluarkan satu persatu. Ditutup dengan desert buah-buahan dan jelly yang diolah menyerupai buah. Seluruhnya boleh disebut fine dining a la Jepang (Kaiseki Ryouri).

 

    Esok paginya sejam berjalan menghirup udara segar dari pepohonan. Berolahraga pernapasan Chi-go (bahasa Cina) atau Ki-ko (bahasa Jepang), menambah kesegaran tubuh. Aroma alam dari hehijauan daun dan bau tanah basah, serta oksigen yang keluar dari pori-pori daun yang tak tersentuh polusi ini benar-benar segar. Tepat pukul 9.30 dengan shutlle bus dari hotel, kami menuju stasiun kereta tua dan kecil Hodaka, untuk kembali ke Matsumoto.  Persis di sebelah stasiun ada art galeri yang kecil dan apik, menjual pernak-pernik yang menunjukkan keindahan alam sekitar dari lukisan-lukisan yang dipajang.

Stasiun tua Hodaka 



Pemandangan di belakang stasiun Hodaka

 



Art Galerry

Aneka pernak-pernik
 
Lukisan Pegunungan

 
 

 


   Di Matsumoto kami melanjutkan eksplorasi ke Matsumoto Castle (national treasure), sekolah tua Kaichi jaman dahulu (the oldest wooden structured primary school), makan siang di Ishii Miso Restaurant dan jalan-jalan di Nawate street dam Nakamichi street (the old Japanese district).
   Sore, kami kembali pulang ke Yokohama dengan kereta.#

Azumino Website: http://www.azumino-e-tabi.net/en/
Matsumoto Website http://welcome.city.matsumoto.nagano.jp/contents03+index.id+3.htm

By: Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Nagano 8-9 June 2013).






Wednesday, 12 June 2013

S O B A TIME


 This time was the second time I tried to make soba. It was in Nagano with15 of us. The most famous Japanese soba noodles come from this place. Soba from Nagano is called Shinano Soba or Shinshu soba.  

 In 100 grams of soba yields 344 kcal (1,440 kJ) of energy. It contains all eight essential amino acids, including lysine, which is lacking in wheat. Also a type of polysaccharide that is easily digested; contains antioxidants, including rutin and quercetin, and essential nutrients including choline,thiamine and riboflavin.
       Soba (そば or 蕎麦) is the Japanese name for buckwheat (black wheat), thin type of   noodle. It is different from thick wheat noodle known as "Udon". Served either drained and chilled with a dipping sauce, or in hot broth as a noodle soup in the winter time, with a soy-base broth. Extra toppings (nori/seaweet) can be added to both hot and cold soba. Toppings are chosen to reflect the seasons and to balance with other ingredients. Side dish could be tempura and Japanese pickles (tsukemono). 
R: Soba seeds with cover. L: Soba seeds without cover.
       Buckwheat in Japan is harvested  mainly in spring, summer, and autumn --mainly in Hokkaido (up north of Japan).
       In Japan, soba noodles are served in a variety of settings: they are popular inexpensive fast food at railway stations throughout Japan, but are also served by expensive specialty restaurants. Markets sell dried noodles and men-tsuyu, or instant noodle broth, to make home preparation easy.
       Japaneses eat soba with chopsticks and  slurp them noisily.  In this way, the noodles will swiftly get into the mouth and help cool them. 

How to get there.  At 7.46 am take Yokohama Line (Keihin Tohoku Line) in the direction of Hachioji at Yokohama Station. Get off in Matsumoto (11.20 am), take a bus (rental) --because we are in a group--goes to Konekone House in Matsumoto 12.00-13.30.

 We enjoyed making Soba.
Small groups of 3-4 persons were formed. The making started with preparing dough till it became ready to be sliced.  

Buckwheat,wheat fluor,water.














The last step before cutting into thin slices.
L-R: Pak Amha, Simon, Tetra, Sensei.

Boiled
Cutting dough into thin slices.

Shobayu : Shoba boiled water, contains vitamins and minerals. 




Itadakimashu...enjoy your own soba..
Enjoy our own soba... "Itadakimashu..."

Konekone House
by: Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Nagano, 8 June 2013).
Source: partly from wikipedia

HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...