Thursday, 6 September 2012

Ganbarou Nihon! --dari catatan yang tersimpan, 29 Maret 2011.


Ganbarou Nihon! Nyawa Jepang
“Maaf ya, kamu menjadi repot dengan bencana ini. Terimakasih kamu masih mau tetap datang  mengajar ke sekolah di saat tak menentu begini.”  Ini adalah ucapan seorang Jepang kepada seorang teman Indonesia saya yang mengajar bahasa Indonesia di sekolah bahasa di Tokyo. Ketika itu empat hari setelah gempa bumi super dahsyat 9 Mw di Sendai disusul tsunami, yang akibatnya sontak membuat listrik, transportasi, pasok bahan bakar bensin, beras, air minum mineral, susu, baterai, dan roti menjadi sangat terhambat. Dan itu terasa sampai diTokyo dan Yokohama. Apalagi disusul dengan macet nya proses kerja pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima Daiichi yang hingga hari ini (29/3 2011) bertambah-tambah persoalannya.
Jumat 11 Maret 2011,  terjadi gempa bumi di Miyagi prefecture di wilayah Tohoku di pulau Honshu-pulau terbesar di Jepang, tak lama kemudian tsunami menyapu kota Sendai, ibukota Miyagi, juga di Iwate Prefecture di wilayah Tohoku-pulau Honshu, beberapa kota seperti Ishinomaki, Minamisanriku, Fukushima. Pusat gempa terjadi di Pacific Ocean sebelah barat, 130 km dari timur Sendai yang berjarak 372 km dari Tokyo –Tokyo termasuk dalam pulau Honshu.
Esoknya Sabtu 12/3,  terjadi kerusakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi. Naoto Kan, PM Jepang mengatakan: Material Radioaktif yang keluar berada pada tingkat risiko radiasi yang sangat tinggi. Setelah Perang Dunia II, bencana Jepang kali ini adalah krisis paling parah bagi Jepang. Kondisi memburuk ini memicu orang-orang asing meninggalkan Jepang kembali ke negaranya. Atau mengungsi sementara ke wilayah sebelah barat, selatan antara lain ke OsakaKyotoNagoya, dan Hiroshima. Pokoknya menjauh sebisa mungkin dari terpapar radiasi nuklir yang kini terjadi, di samping menjauhi wilayah-wilayah rawan gempa dan tsunami.
  “Kalau orang-orang muda pergi meninggalkan negeri”,
“Siapa lagi yang akan membangun puing-puing ini terbangun kembali?”
“Kami tetap tinggal di sini…,”  kata teman Jepang tadi. Terdengar prihatin dan nasionalisme yang tinggi.
Semangat-semangat  seperti ini terbaca ke seantero dunia melalui layar kaca, media massa, dan di kehidupan masyarakat. Di tanah Jepang ini mereka menyemangatkan sesama dengan kalimat  “Ganbarou Nihon!” (Semangat bangsa Jepang! Jangan Menyerah”),  “Minna, gambarimasyou…!” (Ayo, kita semua bersemangat, jangan menyerah…!”).   Ajakan untuk tidak menyerah, ajakan untuk bersemangat bersama-sama membangun kembali tanah, perusahaan, sekolah, pekerjaan, rumah  yang luluh-lantak. Kata dasar ‘ganbaru’ berarti ‘bertahan’, ‘berusaha gigih’ (Kamus Jepang-Indonesia/Kenji Matsuura); tetap melakukan sesuatu kegiatan yang positif, mengandung makna  ‘berusaha keras’. Dalam bahasa Indonesia: ‘Berusaha sampai titik darah penghabisan’, yang ditujukan untuk semua orang,
 Terdiri dari dua kanji yang berarti keras ,dan kuat. Kata ini bermakna: meski menghadapi masalah, tapi kita harus kuat, gigih, tabah menghadapinya dan mencari jalan keluarnya. Kalimat ini yang menyuntikkan semangat di hati orang-orang Jepang di wilayah bencana.
Seorang lelaki tua di Kesennuma --kota pinggir pantai yang hancur itu,  
sengaja membuka bengkel sepeda cuma-cuma, agar masyarakat bangkit melanjutkan hidup. Agar masyarakat bisa kemana-mana dengan sepeda, walau tanpa kendaraan mobil, bis, seperti biasanya.  Kalaupun ada kendaraan, persediaan bensin tidak ada. Lelaki ini ingin membantu sekuat kemampuannya agar masyarakatnya bangkit.
            Tak kurang juga dukungan moral datang dari anak-anak sekolah. “Jangan menyerah” bunyi pesan poster besar terpampang yang mereka buat bersama.
Anak-anak ini merasa harus berbuat sesuatu untuk menyemangati semua orang.
“Kita semua bersatu berjuang untuk melalui semua ini..”.
            Acara kelulusan siswa sekolah di wilayah bencana tetap berlangsung. Nyanyian koor anak-anak sekolah itu di acara kelulusan murid terdengar optimis …”Shiawase …shiawase…” (“Bahagia..bahagia…”), 19/3 2011.
            Anak-anak sekolah usia SD pun, turut berpartisipasi membantu. Mereka beramai-ramai mendatangi penampungan, memijati para pengungsi yang lelah, yang bahunya kaku. “Kimochi ga ii..” (“Enak juga dipijati anak-anak ini yaa.”), kata seorang tua tersenyum duduk di atas futonnya.
Saitama Super Arena menjadi tempat evakuasi baru yang bisa menampung sekira 2000 orang. (28/3). Di luar gedung, ada aksi sumbangan bantal, dengan ukuran dan warna berbeda-beda, dan bertuliskan pesan yang menyemangati. Di antara bantal yang dipilih seorang anak laki-laki, ia memilih yang bertuliskan pesan: “Menjadi kuatlah seperti dinosaurus” --hal-hal kecil ini menyemangati dan empati kepada para korban musibah. Anak lelaki yang memilih bantal itu mengatakan: “Ya, saya akan bisa kuat..”
Bantuan berdatangan. Penjualan partai besar sepeda dari Sakai city ke wilayah bencana memberikan diskon besar-besaran kepada Balaikota untuk disalurkan mereka yang memerlukan.  Ban sepeda pun dirancang khusus agar tidak gampang bocor digunakan di daerah yang masih porak poranda.
Di Tokyo dan Yokohama yang berjarak sekira 300 km dari sumber bencana, tak terkecuali terkena dampaknya. Kekurangan bahan bakar kendaraan, makanan (beras, susu, roti, makanan jadi), dan air mineral, menyusul radiasi nuklir yang telah mencemari air kran ke rumah-rumah dan sayuran. Seorang teman Jepang, di tengah ketidakmenentuan ini merasa yakin Pemerintahnya berjuang keras menyelesaikan masalah. Kendati bencana ini sedemikian memilukan, ia masih ingat ada temannya bangsa lain yang bisa ia bantu sebisanya. Sebuah helm baru dari toko diberikannya untuk menjaga kepala teman mancanegaranya dari terbentur benda-benda keras jika terjadi lagi gempa. “Helm ini jangan dipakai yaa..,” katanya begitu memberikan helm itu. Ketika teman asingnya bercerita turut antri di supermarket dan tidak mendapatkan tisu toilet karena kehabisan, esoknya teman Jepang ini mengirimkan  lewat pos beberapa gulung tisu, jus sayuran kaleng, dan gula-gula coklat.
.                                                       ***
Pemulihan pasca bencana --Anyone should act without delay.
            Bantuan dari berbagai penjuru kota di Jepang dan luar negeri datang ke Jepang. Makanan, minuman, pakaian, selimut, dan dana dari manapun mengalir. Hari ini (29/3) televise  NHK menayangkan pemerintah akan mensubsidi korban bencana. Dana nasional akan disalurkan ke pemerintah kota --yang kemudian menciptakan penggunaan dana  tersebut dengan baik, termasuk untuk menciptakan lapangan pekerjaan kembali.
            Bencana ini sungguh membuat menderita. Akibatnya menjalar ke seluruh segi kehidupan. Tak terbayangkan kapan semua ini pulih seperti sedia kala. A peace of mind, event harder to feel. MasyaAllah…Semoga masyarakat Jepang Engkau beri kekuatan.
“Ini pengalaman pahit, tapi pengalaman getir  ini akan menjadikan hal positif nanti... Saya akan menjadi polisi di waktu mendatang, agar bisa membantu bila terjadi bencana,” kata Tomohiro, seorang anak lelaki di wilayah bencana dalam acara kelulusan siswa di sekolahnya yang tertunda dua minggu sejak bencana terjadi,11/3.
Anak-anak ini tidak tinggal diam. Mata hatinya menggerakkan jiwanya sebagai generasi muda untuk bangkit. “Saya ingin mengikuti jejak ayah,  menjadi petugas pemadam kebakaran untuk bisa mengatasi masalah seperti ini dengan baik,” kata seorang anak yang lain lagi; ayahnya hilang ditelan bencana ketika bertugas saat getaran gempa datang.
Secara psikologis jiwa para korban bencana perlu disentuh. Tiga, empat hari setelah gempa dan tsunami yang dahsyat disusul dengan masalah di pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima Daiichi, masyarakat di wilayah bencana seakan ‘baru sadar’.  Trauma! Tenaga psikolog didatangkan untuk mengajak mereka bicara. Membiarkan mereka bercerita untuk melepaskan trauma, meringankan tekanan mental, stres yang terjadi karena kejadian bencana luar biasa yang bisa membuat seseorang trauma, ketakutan, hingga tak bisa berkata-kata. Instruktur senam juga datang mengajak mereka di penampungan untuk bergerak badan agar segar.
              Di tengah kesedihan, kehancuran yang tak alang kepalang,  kesadaran masyarakat sendiri hadir, hingga tidak membiarkan mereka hanya berdiam diri menunggu. Mereka mahfum, dan berusaha bangkit dengan bantuan pemerintah, para sukarelawan dari kota-kota Jepang lainnya, maupun sukarelawan dari berbagai bangsa. Pendataan penduduk dilakukan di kantor-kantor pemerintah kota. Organisasi sukarelawan segera bergerak, antara lain mengupayakan programhomestay family. Hingga saat ini (28/3) terdaftar 3000 keluarga yang menyediakan tempat untuk menampung. Komunikasi jejaring sosial (social media) Twitter dan Facebook digunakan untuk mencari orang dan menyebar informasi. Rasa solidaritas senasib terbentuk dengan komunikasi seperti ini, terutama di kalangan generasi muda. Secara psikologis ini membantu membangkitkan semangat.   
Dari questioner yang disebarkan,  79% mereka ingin kembali ke kampung halamannya. Sebagian yang lain, ingin kembali tapi tidak tahu harus bagaimana? Hanya sebagian kecil yang tidak ingin kembali ke kota mereka. Perhatian pemerintah Jepang mati-matian menghadapi bencana ini. Satu persatu mulai diperbaiki dan dibenahi:  pekerjaan penduduk yang hilang, kesehatan,  rumah, membangun kembali kota, membangun rumah penampungan sementara.
            Dalam pengamatan, kepribadian orang Jepang kelihatan tenang. Di mana pun kita berada di antara mereka, secara garis besar mereka tidak ingin terlihat berbeda. Di  bis, kereta, dan di tempat-tempat umum, mereka terlihat tenang, tidak berbicara ribut, tertib. Di tempat-tempat umum handphone pun tak ada yang berdering, sesuai dengan pengumuman dipajang untuk tidak menggunakan telepon genggam, kecuali dipasang dengan mode: silent. Sejak kanak-kanak, orang Jepang diajari untuk tidak menggangu orang lain. Kalau bekerja, mereka teliti; bahkan mereka mengenal istilah karoshi suru (meninggal karena bekerja kelelahan), mereka menganggap ini mati  terhormat.
                                                            ***
Profesor Yoshiaki Kawata dari Universitas Kansai,  ahli dalam bidang Disaster Risk Reduction/ International Strategy for Disaster Reduction dalam wawancara dengan stasiun televisi NHK, dan dari berbagai tayangan di televisi, beberapa hal penting bisa disimpulkan:
·        Penting menjaga harapan dan pikiran optimis dari  masyarakat yang tertimpa bencana. Karena dimungkinkan dampak bencana ini bisa dirasakan dalam hitungan tahun.
·        Jika bicara soal daerah yang harus dibangun kembali, maka ada daerah yang bisa membangun sendiri, dan ada yang membutuhkan pertolongan dari luar, dalam hal ini Pemerintah.
·        Pentingnya manajemen informasi dan manajemen bencana. Melalui komunikasi yang baik dengan berbagai pihak terkait, bisa menghindari kekurangan kebutuhan para pengungsi di wilayah bencana/sentra evakuasi. Manajemen komunikasi juga diperlukan untuk pembangunan infrastruktur.
·        Memperhatikan jaringan transportasi, sebab Jepang sangat bergantung kepada transportasi darat. Transportasi lancar diperlukan untuk membawa berbagai keperluan ke wilayah bencana.
·        Harus memperkuat penyediaan berbagai fasilitas:  bahan bakar kendaraan bensin, minyak tanah untuk alat pemanas, makanan, minuman, selimut, obat-obatan, dll, ke wilayah bencana.
·        Perlu menularkan rasa semangat, rasa senasib sepenanggungan, perasaan yang baik –para tenaga sukarelawan mengunjungi para pengungsi untuk mengajak bicara, membangkitkan semangat hidup, menghibur anak-anak dengan bermain, bernyanyi.
·        Semua unsur bangsa harus mendukung pemulihan pasca bencana.

         Rajib Shaw, associate professor  di laboratorium bidang International Environment and Disaster Management  dari Graduate School of Global Environmental Studies di Kyoto University, dalam interviewnya di NHK World, mengatakan ada selisih waktu dari sejak terjadinya gempa dengan tsunami yang terjadi kemudian. Nah, selisih waktu ini yang harus digunakan sebaik-baiknya itu pergi menjauh dari daerah pantai untuk menghindari tsunami. Tapi yang terjadi, ada ketidaksesuain antara “pemahaman” (perception)  akan terjadinya tsunami dan “aksi” (action) menjauhi pantai. “Sebenarnya,  yang penting dipahami jika ada peringatan tsunami sesaat setelah gempa, larilah menjauh daerah pantai.” Sayangnya dalam praktiknya, kendati ada kesadaran sebanyak 80%, tapi yang mengambil tindakan tepat hanya 30%.
            Dalam keadaan seperti sekarang ini, yang diperlukan adalah koordinasi manajemen yang baik di antara departemen-departemen di pemerintahan pusat, antara pemerintah pusat dan lokal, dan juga melibatkan non government organization dan organisasi lain yang menjalankan bantuan kemanusiaan. “Di wilayah bencana perlu dibentuk sentra koordinasi “one stop shop” untuk semua informasi.  Koordinasi horizontal dengan semua unsur terkait, dan koordinasi vertikal dengan pemerintah pusat dan pemerintah lokal,” tulis Rajib Shaw di Kyodo News (25/3 2011)–Opinion: Does Japan need assistance? 
            Yang menolong Jepang menghadapi kesusahan ini adalah kultur masyarakatnya yang memiliki perilaku positif,  kepercayaan diri yang tinggi untuk berusaha hidup normal kembali. Ganbarou Nihon! ♥

Untuk donasi: www.jrc.or.jp/english
Dari berbagai sumber, www.nhk.or.jp/nhkworld/
   
Oleh: Rahmayanti Helmi Yanuariadi.
Anggota FLPJ, freelance journalist, tinggal di Yokohama.
Merasakan gempa 9Mw ketika sedang bersepeda menuju dokter. Lima menit menyaksikan masyarakat keluar dari rumah dan toko di pinggir jalan yang dilewati. Mereka tenang tanpa berteriak histeris, padahal gempa sekuat itu tak pernah hadir di bumi Yokohama selama puluhan tahun ini. Hanya kalimat mohon perlindungan Allah SWT yang terucap, seraya pasrah…Semoga bencana Jepang ini segera berlalu.



3 Comments
Chronological   Reverse   threaded
rahmaendra wrote on Aug 11, '11
*like this, Mba*
pianochenk wrote on Aug 12, '11
Terharu bacanya :'(.
emitetra wrote on Aug 17, '11
tx untuk Rahmaendra dan pianochenk, yang sdh membaca...

No comments:

Post a Comment

HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...