Thursday, 6 September 2012

tidak ada teriakan, yang ada prihatin


Mar 18, '11 10:15 PM
for everyone
‘Tidak ada yang kebetulan’ kalau Jumat, 11 Maret 2011 itu terjadi gempa bumi di Miyagi prefecture di wilayah Tohoku di pulau Honshu-pulau terbesar di Jepang, menyusul tsunami yang melanda kota Sendai, ibukota Miyagi, juga di Iwate Prefecture di wilayah Tohoku-pulau Honshu.

Rahmayanti Helmi Yanuariadi

Hanya manusia yang tidak tahu persisnya, pukul 14.46 JST (waktu Jepang) terjadi gempa tipe  megathrust berkekuatan  9,0 Mw (Moment magnitude scale-MMS, dibaca dg simbol: Mw) di Pacific Ocean. Pusat gempa terjadi di Pacific Ocean sebelah barat, 130 km dari timur Sendai, atau 372 km dari Tokyo, yang termasuk dalam pulau Honshu.
Jumat pagi itu rencananya aku yang tinggal di Yokohamapergi ke klinik fisioterapi untuk  melanjutkan perawatan dengkul yang sakit. Namun karena pagi ada janji dengan orang yang akan datang ke rumah, jadi tidak sempat pagi-pagi jam 9.00 datang ke klinik. “Nanti siang aja ah naik sepeda ke klinik, setelah urusan pagi ini selesai,” begitu kata hati, biasanya aku ke klinik naik mobil, di samping untuk mengistirahatkan dengkul agar tidak terlalu banyak mengayuh sepeda, udara musim semi di awal Maret itu masih lumayan dingin.
            Jam 14.25 aku memaksakan diri mengayuh sepeda dalam udara dingin,  Duapuluh menit mengayuh sepeda melewati rumah-rumah dan toko-toko gaya lama, kok terdengar suara “kletek..kletek”, seperti suara atap seng atau rolling door toko yang bergerak. Terpikir itu gara-gara angin bertiup agak kencang. Di kota Yokohama memang banyak angin, karena terletak di pinggir teluk Yokohama dan berhubungan dengan Teluk Tokyo. Ketika mau menyeberang jalan, tiba-tiba suara gemuruh, turunlah aku dari sepeda, bumi tempat kaki memijak bergerak lumayan kencang, untung di depan saya ada tiang pendek yang menandai zebra cross penyeberangan jalan. Astaghfirullahal’adzim, ya AllahLaa haula wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyil azhiim (tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali di tangan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung), “Tawakaltu ‘alallah…”  .Sekira lima menit, hanya pasrahku kepada Allah. Sementara di sebelahku dua orang ibu berseru, “Heee, sugoi nagaii..” (maksudnya: Eee, lama benar gempa ini). Semua kendaraan berhenti di tempat. Tidak ada suara teriakan berarti, yang ada mereka tenang meski berhambur keluar dari toko, salon, rumah; yang aku tahu orang Jepang sudah biasa menghadapi gempa.
Ini kejadian di Yokohama, yang relatif jauh berjarak 318.58 km dari pusat gempa di Sendai. Di toko-toko sepanjang jalan itu, barang dagangan di rak-rak berjatuhan. Langsung terpikir rak buku agak tinggi di rumah, apakah rubuh ya? Terpikir lagi, di bawah rak buku itu ada pemanas listrik ruangan portable yang diletakkan –kuatir rak buku itu menimpa alat pemanas ruangan yang kabel listriknya masih tertancap. Kuatir jika terjadi kebakaran karena benturan keras. Kuatir dan kuatir….Kembali aku pasrah saja.
Siang itu,  hampir saja aku tidak jadi pergi ke dokter, karena dingin. Tapi inilah jawabannya. Aku percaya ini bukan kebetulan, Allah mengarahkanku untuk melangkah keluar meninggalkan rumah pada saat yang tepat. Subhanallah! Allah menyayangi aku! Terimakasih, Yaa.. Rahman(MahaPengasih) Yaa.. Rahim (Maha Penyayang)..
             Lima menit setelahnya, gempa berlalu. Sepeda ku naiki lagi dan lanjut menuju ke klinik. Di klinik keadaan tenang saja. Yang pertama kulihat, apakah rak-rak di ruang klinik ambruk, apakah botol-botol obat itu jatuh berantakan? Ternyata rak-rak tetap rapi; tentu mereka sudah siap karena memang sudah tahu prosedur --di negeri rawan gempa ini semua rak harus terpaku ke dinding. Belakangan baru tahu, arah gerakan fondasi rumah/bangunan (sistem fondasi)  jika ada gempa mempengaruhi ambruk tidaknya barang-barang yang terpajang.  
Bikkurishita?” (Tadi kaget?”), tanya dokter.  Aku mengiyakan, dari dokter diketahui tidak pernah terjadi gempa sebesar ini di Yokohama. “Ooh?,” kataku mahfum.
            Setelah gempa awal tadi, aku merasakan ada dua gempa susulan yang lebih kecil tapi masih lumayan besar juga rasanya.
            Cepat-cepat kukayuh sepeda, pulang. (Saat menulis ini sekarang, masih terasa gempa susulan; pagi sampai malam ini saja  kalau tidak salah hitung ada lima sekira  5-6 kali gempa susulan --13/3). Traffic light mati, dan lalu lintas langsung dipandu oleh petugas. Setelah memastikan aman untuk naik ke lantai 14 paling  atas apartemenku di pinggir Teluk Yokohama ini, naiklah ke atas melalui tangga. “Modotte, ii yoo, (kembali ke rumah ga apa-apa sekarang),”  kata tetangga.  Lift mati karena listrik mati. Air, gas, telepon rumah juga mati. “Ooh” lagi. Terbayang akan gelap, dingin, tidak bisa ke toilet, dan tidak bisa telepon.
            Sebelum sampai ke pintu apartemen, aku disambut pot kaktusku yang sudah jumpalitan jatuh ke lantai dari tempat duduknya semula di bagian atas di depan jendela. “Bismillah” aku buka pintu --sudah siap mental bahwa rumah bakal berantakan, apalagi di lantai paling atas. Benar, barang-barang kecil di hall ruang jaket/sepatu berjatuhan, pigura foto pecah. Masuk lebih dalam ke rumah, pintu kulkas bagian atas terbuka, sebagian isinya berjatuhan, cermin tinggi tersungkur, vaas bunga tinggi berat terbuat dari kaca-berisi penuh air tumbang, dan airnya membasahi lantai. Rak buku yang tadi dikuatirkan tidak rubuh –hanya isi rak bagian atas hampir jatuh tapi tertahan benda. Pemanas ruangan aman karena listrik otomatis mati. Barang-barang ringan terserak. Tidak ada kerusakan berarti. Subhanallah, aku bersyukur kepada Allah. Yang begini saja sudah membuat stres, tidak terbayang mereka yang perih kehilangan anak, istri, ibu, bapak, keluarga, rumah, dan segala macam di Sendai dan Iwate yang mengalami paling parah akibat gempa dan tsunami. Ya, Allah lindungi mereka bangsa Jepang, siapapun, dan Warga Negara Indonesia di sana..
            Masuk rumah sebentar, ambil kamera, keinginan buang air kecil kutahan. Karena getaran gempa masih terasa, aku cepat lari ke bawah lagi. Sms, messenger, email dari kerabat dan teman di tanah air berhamburan masuk ke handphone. Sadar tidak ada listrik untuk charge baterai, hemat baterai seperlunya saja membalas pesan masuk.
            Ini pengalaman gempa terbesar yang mengguncang yang pernah aku rasakan. Sebelum ini, gempa-gempa yang terasa terbilang aman. Kalau saat itu berada di dalam rumah, tak terbayangkan ketakutanku seperti apa sendirian di rumah lantai 14 ini. Mungkin aku akan trauma, seperti sempat aku trauma karena ada orang yang bunuh diri dari lantai 14 tepat dari tangga apartemen yang terletak di depan pintu apartemenku. Semoga semua itu tidak terjadi lagi…
            Malam itu tidak bisa tidur.  Bagaimana bisa, gempa susulan datang dan datang lagi.  Syukurnya, hampir jam 23, listrik, air, telepon, nyala, hanya gas yang belum. Jam 1.30 dini hari baru bisa memejamkan mata, dengan pakaian lengkap di badan, siap lompat kalau ada apa-apa.
            Hingga subuh pagi ini, 15/3, gempa lumayan masih terasa, kira-kira di bawah 7 --sampai aku bisa merasakan berapa Scala Richter ini, karena sejak 11 Maret, gempa susulan tak henti. Telinga ini coba sensitive menangkap suara di luar jendela kamar tidur, apakah ada suara gemuruh, segera setelah gempa itu terasa lagi… Syukur alhamdulillah, air  itu tenang…berkilau karena pantulan matahari. Maklum dan ini sangat manusiawi sekali, betapa tidak, dari lantai 14 apartemen ini, mata langsung dekat dengan air di pinggir Yokohama bay yang mentok berhenti di perbatasan pagar beton apartemen kami. Tak jauh di sana laut lepas terlihat. Ya, Allah, lindungi kami dan semua insan di manapun yang tengah menderita karena kekuatan alamMu ini…   ■


Penanganan Gempa Jepang
Jika terjadi gempa membahayakan seperti ini, listrik, air, gas, telepon langsung mati. Ada  12 tower apartemen di tempatku tinggal, secara otomatis mesin utamanya mematikan semua energi. Namun tidak semua sudut kota mengalami listrik mati, tergantung kebijakan setempat. Listrik di rumah sakit Palang Merah di sebelah apartemen tidak mati, mereka memiliki sumber energi sendiri, seperti juga energi di convenience store tetap jalan.
“Di kompleks apartemen pinggir teluk ini tidak ada evakuasi gempa, karena untuk saat ini terbilang aman,” kata ketua komunitas di apartemen ini, dan apartemen ini memiliki halaman terbuka yang luas. Tergantung masing-masing tempat – di perkantoran di Minatomirai, karyawan di evakuasi ke bidang tanah yang lebih tinggi, maklum perkantoran di sana berada di pinggir bay –karena semula diperkirakan akan terjadi tsunami.  Di setiap wilayah kota, selalu disediakan tempat evakuasi, yang ditunjukkan melalui papan informasi lalulintas.
Karena ini pengalaman pertama (jangan sampai ada pengalaman kedua, dst), aku tidak tahu kalau air rumah mati untuk sekian jam. Pihak pengurus apartemen membagi air minum yang memang sudah tersedia di gudang apartemen, kendati hanya dua kaleng air mineral. Baru tahu juga belakangan, kalau harus menyiapkan bahan makanan jadi dan air minum, jika sewaktu-waktu ada bahaya lagi.
Sore dan malam itu, langsung supermarket, convenience store kebanjiran orang membeli air minum dan makanan jadi. Hingga artikel ini ditulis (13/3), supermarket penuh orang. Petugas turun mengatur antrian pembeli masuk dan keluar supermarket, dengan jeda beberapa menit. Mereka antri tertib, tidak ada rebutan barang. Telah diatur seorang hanya boleh membeli 2 botol air minum, karena harus berbagi dengan yang lain. Yang laku: air mineral, beras, roti, makanan mudah diolah, makanan siap saji. Ini terjadi di seantero Jepang yang terkena akibat gempa, tsunami. Ditambah lagi karena meledaknya reaktor nuklir  pembangkit listrik di Fukushima 12/3,  diberlakukan giliran pemadaman listrik selama tiga jam, dimulai 14 Maret di beberapa wilayah kota. Orang harus siap dengan antara lain: bahan makanan jadi, minuman, baterai. Kami termasuk telat membeli keperluan di supermarket –syukur ada teman yang memberi tahu--, beberapa keperluan habis ludes karena rush pembeli. Di rumah harus menampung air bersih, masak air, masak nasi/makanan, agar ketika mati lampu, semua kebutuhan sudah tersedia.
Hampir semua saluran televisi mengupdate perkembangan usai gempa, tsunami dan, terakhir meledaknya reaktor nuklir diFukushima. Yang membedakan dengan yang biasa dilihat di tanah air Indonesia, korban gempa yang tewas tak diekspose close-up. Kalaupun ada, dishoot jauh, dan itupun disensor. Ketika tayangan itu diulang-ulang, mayat disensor tadi tidak ditayangkan lagi. Televisi Jepang melaporkan semua peristiwa secara halus (baca: tidak memperlihatkan korban terutama yang sudah meninggal dengan vulgar); bahkan bisa dikatakan tidak memperlihatkan orang-orang yang tewas dengan naas. Minimal korban meninggal sudah ditandu, tertutup rapi.
Tayangan pertemuan anggota keluarga yang semula terpisah, cerita saksi mata  kejadian, disajikan proporsional (tayangan tidak terlalu lama). Selebihnya, disajikan ulangan peristiwa hari H kejadian, peristiwa-peristiwa alam yang terjadi berikutnya, kerusakan infrastruktur, dan perkembangan penanganan terhadap korban selamat, serta updated informasi data korban hilang, mati, dan tindakan apa yang harus dilakukan.
Doaku: semoga mereka, bangsa Jepang, bangsa apapun yang terkena bencana alam ini, warga negara Indonesia di Jepang, selamat dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa.■

Yokohama, 14 Maret 2011.
 http://emitetra.multiply.com/, FB Rahmayanti Helmi Yanuariadi.
2 CommentsChronological   Reverse   threaded
diansya wrote on Mar 18, '11
Berita tivi di Ina juga ramai membicarakan ketenangan orang jepang. Ada beberapa berita yang sering ditayangkan, yang rapat tetep pada rapat, orang tivi malah mengambil gambar, dll.
Saya juga pernah ngalamin gempa besar di Fukuoka, mbak. Sama seperti mbak Emi, bersyukur saat itu tidak di rumah, namun di mal. Ketenangan mereka berdampak pada saya juga. Kalau di rumah, mana lantai teratas, kali udah trauma juga.
emitetra wrote on Mar 19, '11
Iya Diansya. Benar, ketenangan mereka berdampak positif kepada saya. Alhamdulillah tetap tenang dan juga tetap waspada. Tx sdh mampir..

No comments:

Post a Comment

HARI-HARI

  HARI-HARI 1 Tidak ada yang muluk, karena tidak perlu muluk. Muluk cuma sebatas angan? Ah, ya engga juga, ia bisa jadi kenyataan. Tapi ya g...