 |
Parcipating writers and audiences, Benteng Rotterdam, Makassar , 14-17 June 2012. |
Makassar International Writers Festival 14-17 Juni 2012. Ini sudah disebut-sebut pemrakarsanya Lily Yulianti Farid sejak jumpa kembali dengan Radio Journalist dan penulis ini tahun lalu dan tahun ini. Lily orang yang super sibuk, kenal dia ketika bekerja di NHK Tokyo-Jepang, dan kami sama-sama di Tokyo, dan sekarang ia tengah menyelesaikan tesis S3 sambil bekerja freelance di ABC Radio, Melbourne, Australia. Alhasil saya tertarik untuk datang dan ikut di dalamnya, entah apa namanya: menjadi penikmat, penonton, atau pemerhati. Karena beberapa kali keinginan untuk datang ke acara Ubud Writers Festival di Bali, tapi belum kesampaian karena waktunya yang selalu di bulan Oktober, sering tidak klop dengan waktu saya. Ke Makassar aja deh, kota ini juga menarik.
Kota Angin Mamiri di Sulawesi Selatan ini untuk ketiga kalinya saya kunjungi dalam kurun waktu yang jaraknya berjauhan sekali. Yang teringat jelas, dulu pantai Losari hanya berbatas pembatas terbuat dari batu semen yang bersebelahan dengan jalan raya --air laut langsung berbatasan dengan pagar pembatas, lalu langsung jalan raya. Tapi kini, air laut sudah ke tengah, sebab wilayah yang bersebelahan dengan jalanan itu diuruk menjadi pelataran yang jika pagi hari Minggu dan malam hari ramai dikunjungi orang untuk berjalan-jalan, orang pada makan-makan dari warung-warung makanan yang berdiri temporer.
Mendarat di Bandara Sultan Hasanudin di menjelang siang itu, saya terkagum dengan bandara internasional nya yang baru. Rasanya ini bandara terbaik di Indonesia untuk hitungan di daerah. Bandara Juanda, Ngurah Rai (yang juga sedang dibangun) rasanya kalah bagus. Interiornya hampir seperti di Malaysia, kurang lebihlah...
Aduuh... ini mau cerita MIWF, cerita kotanya, kuliner, pulaunya, panasnya...Semuanya ingin diceritakan dalam catatan ini. Pokoknya nginap 3 malam 4 hari, cukup dapat semuanya.
Hotel berbintang empat/bungalo Pantai Gapura yang berdiri di atas pantai Losari --satu-satunya hotel yang tersisa yang paling dekat dengan Benteng Rotterdam, venue MIWF, akhirnya dipilih. Jalan kaki cuma lima menit, di bawah terik matahari, yang rasanya lebih panas dari Jakarta, setiap hari mondar-mandir seenaknya pergi-pulang ke benteng dan hotel. Karena tidak ada teman, maka memilih yang gampang dikerjakan dan engga perlu jauh-jauh berjalan. Di sini paling strategis, ke venue gampang, tinggal lenggang aja, cari makan ikan bakar tinggal ke pinggir laut di depan benteng, makan pisang Epe malam-malam, tinggal tarik bangku sambil menyedu teh tarik a la Makassar. Wuih, sedap! Oh ya, belum lagi cari oleh-oleh di pusat oleh-oleh, cari kerajinan perhiasan emas Kandari di jalan Somba Opu, wow,
sugoii (asyik/bahasa Jepang),
omosiroi (menarik/bahasa Jepang),
wonderfull, keren abiss...
 |
Krishna Pabicara dan penyair muda Makassar di Pulau Lae-Lae. |
Untuk Anda yang suka menulis, kota Makassar sangat inspiratif. Tak heran, masyarakatnya yang dasarnya memang berdarah Melayu, yang kebetulan saya jumpai dan nikmati syair-syairnya, memang bagus-bagus sih.. Sebut saja M. Aan Mansyur yang kalau membaca puisi, intonasinya bagus, gayanya tidak kuno, inovatif dengan seorang penari latar dalam bayangannya, atau penari dengan fisik terlihat, dengan latar musik ala musik DJ yang pas dengan puisinya. Keren. Luna Vidya yang membaca puisinya pun sangat bagus dengan selendang yang menambahi kostumnya dan buah jeruk bulatan-bulatan kecil yang dijatuhkanny ke lantai tatkala ia membacakan puisi "Ibu".
 |
Ng Yi Sheng (Singapore) |
 |
Rahmayanti dengan puisi "Ganbarou!" |
Mendengar puisi Ng Yi Sheng (Singapore), Wendy Miller (penyanyi/ Australia), Omar bin Musa (rapper/Melbourne-Australia), Uthaya Sankar (puisi/Malaysia); mendengar kisah sastra yang menurut saya sangat indah dan penuh dengan kisah hidup yang dituturkan Bernice Chauly (Malaysia), mendengar penggalan kisah kehidupan Rini Irmayasari (puteri Papua-Jawa), novel Londorundum karya Rampa Maega, Fauzan Mukrim (River's Note), Mugniar Marakarma/novel Lakon Fragmentaris (semua dari Makassar), sangat memberikan inspirasi. Obrolan Riri Reza (sutradara), Ahamad Fuadi (novel Negeri 5 Menara), Ahmad Tohari (Novel Ronggeng Dukuh Paruk), Ichwan Persada dengan Orenji-nya, Butet Manurung (founder & director Sokola Rimba), Krishna Pabicara (Sepatu Dahlan) mampu mengisi 'baterai' untuk terus semangat menulis.
 |
Bersama mb Lily Yulianti Farid, dan Daeng Farid, Pulau Lae-Lae. |
(Bersambung)